Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
(Arrahmah.com) – Wacana Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di semua tingkatan dikembalikan lagi ke DPRD mulai menggelinding pasca penangkapan Ketua MK Akil Mochtar yang diduga menerima suap dalam penyelesaian sengketa pilkada di tingkat MK. Dan Kini perdebatan wacana ini terus memanas, ada pihak-pihak yang setuju dan tidak setuju.
Dikutip dari metrotvnews.com (Senin, 14/10/2013) Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan sebaiknya pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) di semua tingkatan dikembalikan lagi ke DPRD. Menurutnya secara substansi memang akan lebih baik dikembalikan lagi ke DPRD, sebab Pemilukada secara langsung itu lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Ia mencontohkan, pemilihan Gubernur. Jika anggota DPRD-nya 100 orang, untuk memenangi Pemilukada cukup dengan mengamankan suara 51 suara dan anggaran yang dikeluarkan juga tidak banyak.
Menurutnya juga, bila Pemilukada langsung, harus menyediakan anggaran cukup besar, belum lagi calon yang masih menjabat (incumbent) pasti akan memanfaatkan dengan maksimal potensi dan fasilitas yang ada. Belum lagi, jumlah rakyat yang disuap pasti akan berakibat terhadap rusaknya mental masyarakat. Selain itu, biaya sosial untuk masyarakat juga lebih besar lagi, dan yang paling dikhawatirkan adalah adanya perpecahan sosial yang berlangsung lama.
Demokrasi mahal
Secara faktual kita dapat melihat, bahwa pesta demokrasi di negeri ini tak henti-hentinya menorehkan cerita dan permasalahan yang tak kunjung usai. Di sepanjang tahun berlangsung pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, sampai Presiden, dan juga anggota legislatif (DPR), dari tingkat Kabupaten, kota, propinsi, dan pusat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Daerah. Untuk melangsungkan sebuah pesta demokrasi, sudah tentu membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan anggaran untuk pembangunan dan belanja daerah maupun nasional saja harus terpakai untuk membiayai pesta ini.
Demokrasi,selalu minta upeti. Mahalnya anggaran pemilu bukan lagi omong-kosong. Dikutip dari tribunnews.com (Rabu, 19 Juni 2013) biaya pemilu tahun 2009 sebesar Rp. 8.5 Triliun, bahkan untuk Pemilu tahun 2014 saja sudah diprediksi diperlukan biaya sebanyak Rp. 16 Triliun, jumlah ini dua kali lipat dari jumlah pemilu 2009.
Untuk Pilkada kisaran biayanya juga cukup fantastis. Tengok saja pilkada DKI tahun lalu dengan dua putaran mencapai Rp. 258 Miliar, dengan alokasi pada putaran pertama mencapai Rp 199 miliar, dan putaran kedua Rp. 58 miliar (suaramerdeka.com, 20 Juli 2012). Biaya-biaya ini baru untuk satu daerah saja, belum untuk daerah lain. Jika digabung dengan biaya pemilu didaerah lain sudah tentu menelan biaya yang sangat besar.
Biaya pemilu ini belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan setiap calon kepala daerah, calon presiden maupun calon anggota legislatif untuk partai. Belum lagi biaya kampanye iklan di televisi sebagai strategi untuk memenangkan pemilu. Tahukah anda berapa biaya sebuah iklan di televisi ? Dari berita di media online terpublish bahwa pasangan capres Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo beriklan di lima televisi secara exlusive dalam sehari meski harus mengeluarkan kocek senilai Rp 3 miliar. Jika dikalikan dalam sebulan ‘wow’ sudah tentu berapa banyak pundi-pundi yang harus dirogoh dari kantong. Angka ini hanya untuk di media TV, belum termasuk media lainnya seperti radio, baliho, spanduk, bendera, dan material kampanye lainnya.
Jumlah pembiayaan demokrasi itu tidak sebanding dengan biaya kesejahteraan rakyat yang dialokasikan dalam APBN. Dengan biaya pesta demokrasi yang sangat besar itu, benarkah mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan mampu mensejahterakan rakyat?
Nampaknya kita masih harus menerima kenyataan, dari biaya demokrasi yang sangat mahal itu, tidak menjamin adanya sosok pemimpin yang berkualitas dan berakhlak baik. Sudah terlalu banyak bukti dan janji diumbar oleh para calon kepala daerah, tapi tidak sesuai dengan fakta realisasinya. Terlebih untuk rakyat, Pemilukada justru jadi ajang cari muka dan kuasa sebagian pihak ber-uang. Dan nyatanya dana Pemilukada pun adalah hasil utang kepada pihak ber-uang sejati, alias para kapitalis pemilik modal. Akibatnya, pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi setelah kekuasaan diperoleh, bukannya bervisi menyejahterakan rakyat, tetapi justru yang terpikir dan menjadi orientasi adalah bagaimana cara melunasi utang berikut bunganya. Bahkan yang sering terjadi justru menguras uang rakyat dengan melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan karena para pemimpin ini sebelum menduduki kursinya sudah mengeluarkan “biaya investasi” yang cukup besar. Ketika mereka menduduki kursi yang diinginkan, maka saatnya investasi yang ditanam kini dituai dari dana APBN maupun APBD.
Islam menyelesaikan permasalahan
Pembahasan di atas mengingatkan kita bahwa inilah satu lagi bukti kegagalan dan keboborokan Sistem Demokrasi. Segala agenda harus berjudul “mahal” dan repot. Herannya, masih tetap saja dilakoni. Tak inginkah melirik dan beralih kepada sistem kehidupan alternatif yang senantiasa mudah, bahkan murah Tetapi diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’aala ?
Kenapa kita sebagai hamba Allah tidak memilih sistem Islam yang begitu sempurna dalam memberikan solusi berbagai problema kehidupan manusia? Tengoklah bagaimana simpel-nya proses pemilihan Khalifah pada masa Khulafa’ur-Rasyidin. Seperti cara yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu setelah wafatnya khalifah (Zallum, 2002:72-85), dilakukan 5 (lima) langkah berikut:
1) Diselengarakan pertemuan (ijtima’) oleh mayoritas Ahlul Halli wal ‘Aqdi;
2) Ahlul Halli wal ‘Aqdi melakukan pencalonan (tarsyih) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah;
3) Dilakukan pemilihan (ikhtiyar) oleh umumnya ummat terhadap salah satu dari calon tersebut;
4) dilakukan baiat in’iqaad bagi calon yang terpilih;
5) dilakukan baiat ath-Thaa’ah oleh umumnya umat kepada khalifah.
Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-Siyaadah as-siyaadah li asy-sya’bi), sehingga rakyat di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyaadah li asy-syar’i), bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi.
Tujuan pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum-hukum kufur buatan manusia seperti yang berlaku dalam sistem demokrasi .
Jelaslah, syariah Islam adalah jawaban atas krisis dan kebuntuan yang terjadi selama ini. Jika kita ingin mengambil jalan keluar, maka kita mesti tunduk dan takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala, serta bersungguh-sungguh kembali pada pelaksanaan syariah-Nya. Insya Allah, jalan keluar dan berkah Allah akan segera terbuka.
Maha benar Allah dengan firmanNya :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Siapa saja yang taat kepada Allah dan bertauhid, pasti Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari segala kesulitan.. (QS at-Thalaq [65]: 2).
Allah Subhanahu Wa Ta’aala juga berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekiranya penduduk berbagai negeri mau beriman dan taat kepada Allah, niscaya Kami akan bukakan pintu-pintu berkah kepada mereka dari langit dan bumi. Akan tetapi, penduduk negeri-negeri itu mendustakan agama Kami, maka Kami timpakan adzab kepada mereka karena dosa-dosa mereka “ (QS al-A’raf [7]: 96).
Alangkah ruginya negeri ini, jika seluruh potensi dan konsentrasi dikerahkan untuk membiayai pesta demokrasi dengan biaya yang sangat besar itu, ternyata tidak menjamin terpilihnya pemimpin yang berkualitas sesuai kriteria Allah Subhanahu Wa Ta’aala, tetapi justru terpilihnya para pemimpin yang tidak melindungi rakyatnya dari kemiskinan, kesengsaraan, dan keterpurukan… Wallahu A’lam Bis-Shawaab.
(arrahmah.com)