DAMASKUS (Arrahmah.id) – Susunan pemerintahan transisi Suriah diumumkan pada Kamis (12/12/2024), oposisi menekankan perlunya negara untuk tetap bersatu setelah jatuhnya rezim Assad.
Peristiwa ini terjadi beberapa hari setelah Mohammed al-Bashir ditunjuk untuk memimpin pemerintahan. Bashir telah menjadi kepala ‘Pemerintahan Keselamatan’ di Idlib, provinsi barat laut yang telah dikuasai oposisi Suriah selama bertahun-tahun.
Serangan mendadak oposisi yang dipimpin Ha’iah Tahrir asy Syam (HTS) menggulingkan rezim Bashar al-Assad pada Ahad (8/12) dalam waktu kurang dari dua pekan, mengakhiri kekuasaan Ba’ath selama lima dekade di Suriah.
Pemerintahan baru diperkirakan akan mengawasi fase transisi yang berlangsung hingga Maret tahun depan, menghadapi berbagai tantangan dalam menyatukan dan membawa stabilitas ke negara yang terpecah belah akibat perang selama 13 tahun.
Pada Rabu (11/12), pemimpin HTS Ahmad asy Syaraa – yang sebelumnya dikenal dengan nama samaran Abu Muhammad al-Jaulani – mengumumkan bahwa konstitusi Suriah sebelumnya akan ditangguhkan dan pasukan keamanan rezim akan dibubarkan.
“Kami berharap para menteri dari rezim yang digulingkan akan membantu penerus mereka yang terhormat selama fase transisi, terutama dalam menyerahkan berkas, untuk memastikan kelangsungan layanan,” kata Bashir dalam pidato yang disiarkan televisi.
Beberapa nama baru dalam pemerintahan termasuk Muhammad Abdul Rahman, Shadi Muhammad al-Wisi, Basil Abdul Aziz, dan Muhammad Yaqoub al-Omar, yang masing-masing akan mengepalai portofolio dalam negeri, kehakiman, ekonomi, dan media.
Orang lain yang ditunjuk adalah Muhammad Taha al-Ahmad, Mazen Muhammad Dakhan, Housam Hajj Hussein, dan Nazir Muhammad al-Qadri, yang masing-masing akan mengepalai portofolio pertanian, kesehatan, wakaf keagamaan, dan pendidikan.
Tidak ada wilayah di luar kendali pemerintah
Juru bicara departemen urusan politik yang dikelola HTS, Obaida Arnaout, menekankan perlunya Suriah tetap bersatu dan tidak ada satu bagian pun yang berada di luar kendali pemerintahan baru.
“Kami tidak menerima adanya bagian mana pun dari negara ini yang berada di luar kendali pemerintah Damaskus,” kata Aranout kepada Al Araby TV.
Ia menambahkan bahwa HTS telah meletakkan mentalitas bertindak sebagai organisasi militan, untuk mengambil peran memerintah Suriah.
“Kami berfokus untuk mengembalikan layanan secepat mungkin di seluruh wilayah Suriah,” katanya, saat kehidupan perlahan kembali normal di negara tersebut.
Ada kekhawatiran bahwa konflik di Suriah sekarang dapat berubah menjadi pertikaian internal di antara kelompok-kelompok yang bertikai.
Negara yang dilanda perang itu kini berada di bawah kendali berbagai faksi militan, dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi menguasai sebagian besar wilayah timur laut, milisi Druze di selatan, dan Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki di dekat perbatasan dengan Turki.
Konflik multi-segi, yang meletus pada 2011 setelah pasukan Assad secara brutal menindak protes pro-demokrasi, telah menyaksikan keterlibatan beberapa kekuatan eksternal yang telah mempertahankan kehadiran militer di Suriah, termasuk AS, Turki, dan Rusia.
Iran, yang bersama Rusia mendukung Assad sebelum rezimnya digulingkan, telah menarik pasukannya.
Dalam upaya menyatukan faksi-faksi, Syaraa bertemu di Damaskus pada Rabu (11/12) dengan Ahmed al-Audah, komandan Brigade Kedelapan dari provinsi Daraa di Suriah selatan. Kelompok itu dibentuk oleh Rusia, dan secara paksa berdamai dengan rezim yang digulingkan pada 2018, tetapi diizinkan untuk menyimpan beberapa senjata ringannya.
Sebuah pernyataan mengatakan pertemuan itu merupakan langkah penting menuju “menyatukan upaya kekuatan revolusioner di bawah kepemimpinan pusat yang bersatu.”
Perlawanan di Daraa bangkit melawan pasukan Assad selama serangan, dengan cepat merebut wilayah di Suriah selatan saat HTS dan kelompok lain maju dari utara, sebelum mengambil alih pusat pemerintahan di Damaskus.
Pemerintah Otonomi Suriah Utara dan Timur yang dipimpin SDF juga mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka memutuskan untuk mengibarkan bendera Suriah baru di semua bangunan umum di wilayah yang mereka kuasai. (zarahamala/arrahmah.id)