XINJIANG (Arrahmah.com) – Pemerintah Cina di Xinjiang membentuk ‘tim kerja’ yang terdiri dari para petugas dan dosen universitas untuk mengawasi dan melaporkan warga sipil yang dinilai tidak mematuhi peraturan pemerintah. Tim tersebut beranggotakan lebih dari 10.000 orang yang dibagi dalam kelompok-kelompok dan disebarkan ke desa-desa yang ada di provinsi Xinjiang, yang menjadi tempat tinggal sebagian besar etnis minoritas Muslim Uighur.
Seperti yang terjadi di desa Akeqie Kanle, di mana seperlima dari penduduk dewasanya – lebih dari 100 orang – telah dikirim ke pusat-pusat penahanan dan pusat re-edukasi setelah Partai Komunis mengirimkan salah satu ‘tim kerja’ yang berasal dari Universitas Broadcast Televisi Bingtuan (BBTU) ke daerah tersebut empat bulan lalu, sebagaimana dilansir oleh AFP.
Ketika tim BBTU tiba pada awal tahun 2017, mereka membantu memasang lentera merah di setiap penjuru desa untuk merayakan Tahun Baru Imlek dan mengkampanyekan janji pemerintah untuk memberikan pelatihan kerja, menyediakan air bersih, dan menjaga keamanan.
Namun seiring berjalannya waktu, tim tersebut mulai menampakkan misi yang sesungguhnya, mereka mulai menginterogasi warga yang menunjukkan tanda perbedaan pendapat dengan pemerintah – terutama dalam hal politik dan agama – dan mengirim mereka ke pusat penahanan atau pusat re-edukasi milik pemerintah.
Meski pemerintah enggan untuk menanggapi pertanyaan AFP tentang program tersebut, namun ratusan laporan media, dokumen pemerintah, dan postingan di media sosial resmi milik pemerintah jelas mengilustrasikan metode program tersebut dan kehancuran yang diakibatkannya.
“’Tim kerja’ tidak akan segan untuk bertindak tegas,” publish BBTU di media sosial. “Kami bisa sepenuhnya menutup Akeqie Kanle, mengidentifikasi tiap warganya, dan membasmi sparatisme dan ‘ekstrimisme agama’ hingga ke akarnya.”
Kondisi yang tak dapat dipercaya
Akeqie Kanle adalah salah satu dari ratusan desa yang terdapat di Moyu County, bagian dari wilayah Xinjiang yang penduduknya didominasi oleh etnis Uighur, dan merupakan salah satu tempat yang paling ketat pengawasannya di dunia.
Sejak kerusuhan yang terjadi di ibu kota Urumqi pada 2009, Muslim Uighur selalu dituduh atas setiap pembunuhan dan pemboman , yang menewaskan puluhan orang, yang terjadi di seluruh negeri.
Penindasan yang telah dilakukan pemerintah memicu kecaman dari dunia internasional, hingga Departemen Luar Negeri AS pekan lalu mengatakan bahwa pihaknya semakin khawatir atas “meluasnya penahanan dan tingkat pengawasan yang belum pernah terjadi sebelumnya”.
Kelompok hak asasi manusia juga mengecam sikap diskriminatif yang dilakukan pemerintah Cina sehingga memicu tindak kekerasan, namun pemerintah Cina tetap menyalahkan ekstrimis Muslim.
Pada Desember 2016, tiga pria Uighur menyerang sebuah kantor Partai Komunis, menewaskan dua orang petugas.
Akibat insiden itu, pemerintah mengerahkan puluhan ribu personel keamanan tambahan di seluruh Xinjiang, menggulirkan peraturan yang ketat terkait tentang praktik keagamaan dan mewajibkan re-edukasi bagi warga.
Selain itu pemerintah juga memasang lebih banyak kamera CCTV di ruang publik dan mulai menyebarkan ‘tim kerja’, yang berfungsi sebagai mata dan telinga negara, di tiap rumah.
Para anggota tim diinstruksikan untuk memasuki setiap rumah di desa setidaknya seminggu sekali untuk mencari bukti dari perilaku ilegal yang dilakukan warga.
Di Akeqei Kanle, tim BBTU menulis bahwa mereka telah menyebarkan selebaran yang mendesak warga desa yang telah terlibat dalam kegiatan keagamaan ilegal untuk berubah.
Anggota tim menyusun dokumen, mendata individu yang dianggap mencurigakan dan menginterogasi mereka setiap harinya untuk menganalisis kegiatan harian mereka.
Sementara tim BBTU tidak merinci kriteria mereka, pemerintah lokal lainnya memperingatkan para pejabat untuk mengawasi 25 kegiatan dan 75 ciri-ciri ekstrimisme, termasuk kegiatan yang tampaknya tidak berbahaya seperti berhenti merokok atau membeli tenda.
Sebuah situs web pemerintah lokal mengatakan bahwa pelanggaran kecil akan dihukum selama satu hingga tiga bulan di pusat re-edukasi.
Para pelanggar dapat ditahan di pusat-pusat re-edukasi tanpa batas waktu, tanpa proses hukum, dan harus tunduk pada berbagai macam reformasi pemikiran, termasuk latihan militer dan kelas wajib untuk pelajaran Marxisme dan bahasa Mandarin.
Pada bulan Juni 2017, tim BBTU menulis bahwa mereka telah mengumpulkan hampir 100 “petunjuk” dengan bantuan para irforman.
Tim tersebut meminta bantuan pihak berwenang untuk menahan dan menjatuhkan hukuman bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan “keagamaan ilegal” jangka panjang.
Kunjungan simpati
Pusat re-edukasi, yang dikelilingi kawat berduri, berada tidak jauh dari Akeqie Kanle. Di mana pada akhir pekan banyak warga yang berdesakan di pintu masuk untuk menjenguk anggota keluarga mereka yang ditahan di sana.
Penahanan semakin meluas sehingga sekolah menawarkan program untuk anak-anak yang orang tuanya ditahan, sedangkan ‘tim kerja’ membantu orang-orang yang ditinggalkan untuk menggarap lahan pertanian mereka.
“Yang tersisa di rumah-rumah warga adalah para lansia, perempuan dan anak-anak yang lemah,” kata Departemen Pertanian Xinjiang.
‘Tim kerja’ berusaha untuk “menyadarkan penghuni rumah yang ditinggalkan tentang siapa yang menyebabkan semua ini terjadi pada mereka, siapa yang harus bertanggung jawab, dan kepada siapa mereka harus mengucapkan terima kasih,” tulis seseorang di akun media sosial resmi.
Namun pihak berwenang telah bersiap untuk mem-blowback dengan menyiapkan memo internal jika terjadi kerusuhan terkait program yang sedang dijalankan.
Situs web Departemen Pertanian memiliki daftar tindakan pencegahan untuk ‘tim kerja’, termasuk menyiapkan rencana jika terjadi serangan dengan mengurangi intensitas bepergian ke luar komplek mereka.
Namun, ‘tim kerja’ BBTU yakin bahwa program tersebut dapat menarik hati warga Akeqie Kanle. Karena pada Juli 2017 sekitar 50 warga telah bergabung dengan Partai Komunis, sedangkan sedangkan sebanyak 117 warga lain dibawa pergi ke tempat penahanan dan re-edukasi. (Rafa/arrahmah.com)