JAKARTA (Arrahmah.com) – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan beberapa organisasi yang bergerak pada bidang lingkungan hidup dan HAM, menyatakan menolak impunitas bagi Lapindo Brantas. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar oleh Koalisi Untuk Keadilan Korban Lapindo di Kantor Eksekutif Nasional Walhi Jalan Tegal Parang Utara nomor 14 Jakarta, Rabu (18/03).
Koalisi yang terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), YLBHI, Imparsial, Satudunia dan Walhi ini menyatakan kekecewaan terhadap kasus lapindo yang sampai saat ini belum terselesaikan. Koalisi ini menyatakan, ketidakseriusan pemerintahan SBY-Kalla telah membuat korban lapindo menderita.
“Komnas HAM menyatakan kasus lapindo merupakan pelanggaran HAM berat. Namun pemerintah khususnya kementrian lingkungan hidup tidak tegas dalam menentukan sikap,” ujar perwakilan YLBHI Taufik Basari.
Menurut Taufik, Kementrian Lingkungan Hidup selama ini hanya menghadirkan saksi-saksi dari pihak lapindo saja. “Saksi-saksi ahli lainnya, tidak dihadirkan. Kepolisian juga tidak ada kemajuan. Seharusnya kejaksaan dapat mengambil alih dalam penanganan kasus ini,” ujar Taufik.
Tidak hanya dari segi hukum, dampak lapindo pun semakin meluas. Hal ini seperti disampaikan pengasuh situs korban lapindo (http://korbanlapindo.net) Mujtaba Hamdi.
“Dalam jangka waktu enam bulan lumpur lapindo cepat meluas. Karena dalam seharinya ada 50.000 hingga 100.000 meter kubik lumpur yang menyembur perhari,” ujar Mujtaba berdasarkan pengamatan yang dilakukan bersama timnya.
Masih menurut Mujtaba, terdapat tiga gelombang gas baru di Desa Ketampang. Gelombang ini tidak berbau, namun membahayakan. “Karena apabila disulut api, gas ini langsung mengeluarkan api. Dan tidak hanya itu, di desa ini pun pasokan air bersih pun kurang. Padahal pemerintah telah menganggarkan dana sebesar 22 Milyar untuk desa diluar peta, termasuk desa ketampang ini,” jelas Mujtaba.
Dalam kasus Lapindo ini dikhawatirkan akan adanya penyembunyian informasi kepada masyarakat. “Masyarakat lebih difokuskan untuk memikirkan ganti rugi materi. PT Lapindo pun menutup-nutupi seberapa kuat bisa mengganti materi. Padahal pada tahun 2006 PT Lapindo menerima kompensasi dan masih memiliki 40 sumur di Brantas. Dalam hal dana yang dimiliki PT Lapindo, pemerintah dibuat percaya bahwa PT Lapindo kerkurangan dana. Sampai-sampai Gubernur Jatim mengusulkan agar penanggulangan dana diambil dari dana APBN,” papar Firdaus Cahyadi dari LSM Satudunia.
Menurut Direktur Walhi Berry Nahdian Furqon, kasus Lapindo ini tidak mendapat tempat khusus dalam agenda partai. “Partai-partai dan capres banyak berbicara tentang program-program kerakyatan. Namun tidak mengagendakan secara terbuka penyelesaian lumpur lapindo secara adil bagi korban. Maka kampanye tersebut bisa dibilang fiktif,” tegas Berry. (arrahmah/sbl/mnx)