JAKARTA (Arrahmah.com) – Upaya gembong Syiah Sampang, Tajul Muluk untuk melakukan Uji materi Pasal 156a KUHP jo Pasal 4 UU No 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak membuahkan hasil. Pasalnya, pemerintah menilai pasal tersebut bukan merupakan bentuk diskriminasi terhadap kebebasan beragama.
Sebaliknya, menurut pemerintah UU tersebut justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan umat beragama di Indonesia. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Bimas Kementerian Agama, Abdul Djamil, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).
“UU pencegahan agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan agama, justru ini rambu-rambu pencegahan penodaan agama,” ujarnya saat menjadi saksi ahli dalam persidangan di MK, Selasa (18/12/2012).
Menurutnya, jika MK mengabulkan permohonan uji materi ini, maka akan terjadi kekacauan hukum yang berpotensi menimbulkan konflik. Djamil mengatakan, bila pemohon meminta adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri) sebagai syarat penggunaan Pasal 156a, maka hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan hakim.
“Pemerintah melihat ini bukan permasalahan konstitusional, melainkan masalah penerapan norma dari undang-undang,” jelas Djamil dalam ruang persidangan.
Kuasa hukum pemohon, Hertasning Ichlas sepakat bila pemerintah menilai UU tersebut digunakan sebagai rambu-rambu untuk menjaga keharmonisan antar agama. Namun, ia tetap meminta MK untuk menjadikan SKB 3 Menteri sebagai prasyarat penggunaan UU ini. “Kami hanya ingin meneguhkan bahwa untuk menerapkan Pasal 156a UU KUHP perlu ada teguran SKB 3 Menteri dulu, tidak boleh asal tarik sembarangan.”
Sebelumnya, pemohon yang bernama Tajul Muluk (terpidana penistaan agama), Hassan Alaydrus, Ahmad Hidayat, dan Umar Shahab mengajukan uji materi Pasal 156a KUHP jo Pasal 4 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pengujian ini berawal dari kasus Tajul Muluk (pemimpin aliran Syiah) di Sampang, Madura pada Juli 2012 yang divonis dua tahun penjara karena dinyatakan telah melakukan penodaan dan penistaan agama.
Menurut mereka, ketentuan dalam Pasal 156a KUHP mengandung muatan norma yang terlalu luas dan multitafsir sehingga tidak memiliki kepastian hukum pada unsur-unsur pasal tersebut. Dalam permohonannya, ia meminta MK untuk menyatakan bahwa penggunaan pasal ini terlebih dahulu harus dengan perintah SKB 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri). (bilal/arrahmah.com)