JAKARTA (Arrahmah.com) – Tekanan perdagangan produk asal China telah mendesak pemerintah untuk menegosiasi ulang Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China atau ACFTA. Pemerintah tetap memegang prinsip tidak ada satu industri pun di Indonesia lumpuh akibat perjanjian itu.
”(Menteri Perdagangan) Sudah mulai mengevaluasi dan membicarakannya. Kami akan rapat nanti,” ungkap Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Senin (11/4/2011), seusai memimpin Rapat Koordinasi Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi 2011-2025.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kemarin menegaskan, pemerintah segera menegosiasi ulang terkait pelaksanaan ACFTA. Negosiasi ulang dilakukan karena indikasi persaingan yang tidak adil berdasarkan hasil survei Kementerian Perindustrian. ”Negosiasi tersebut merupakan upaya kami agar Pemerintah China mengevaluasi ekspor mereka ke Indonesia, terutama lima produk yang volumenya meningkat tajam. Kelima produk tersebut adalah elektronik, pakaian jadi, mainan anak-anak, alas kaki, serta produk makanan dan minuman,” kata Mari.
Menurut dia, negosiasi perlu dilakukan karena ACFTA, antara Indonesia dan China, berjalan timpang. Produk China begitu membanjiri pasar Indonesia, terutama segmen menengah ke bawah. Dari negosiasi tersebut diharapkan China bisa mengerem ekspor mereka.
Jaga tiga kondisi
Menurut Hatta, dirinya sudah meminta laporan lengkap terkait perkembangan ACFTA kepada Menteri Perdagangan. Pemerintah ingin menjaga tiga kondisi dalam pelaksanaan ACFTA yang berlangsung sejak 1 Januari 2010 itu.
Pertama, ujar Hatta, mempertahankan agar defisit perdagangan antara Indonesia dan China tidak semakin melebar. Untuk itu, Indonesia tetap menagih komitmen China agar neraca perdagangan tetap seimbang.
Menurut catatan China, defisit perdagangan di pihak Indonesia sebesar 2,8 miliar dollar AS. Namun, catatan Indonesia, defisit yang dialami 5 miliar-7 miliar dollar AS.
”Untuk itu, ada komitmen di antara dua menteri perdagangan. Kalau komitmen ini dipegang, kami bahas mana yang mungkin ditekan defisitnya,” ujar Hatta.
Kedua, ketentuan yang berlaku menyebutkan bahwa jika terjadi pukulan pada industri Indonesia, pemerintah dapat memaksa China untuk membahasnya. Pemerintah telah meminta agar pembahasan itu segera dilakukan agar tidak ada industri domestik yang terkena pukulan hingga lumpuh. ”Kami tidak ingin itu terjadi. Dan, sebelum itu terjadi, harus kami antisipasi,” kata Hatta.
Ketiga, Indonesia tetap menghormati ASEAN, tetapi dengan semangat untuk menjaga neraca perdagangan.
Sebelumnya, Hatta di Istana Negara menegaskan, persoalan defisit perdagangan produk Indonesia dibandingkan produk China tidak hanya diselesaikan dengan perundingan bilateral dan penerapan perangkat kebijakan yang melindungi produk dalam negeri. Pemerintah juga berupaya untuk mendorong peningkatan daya saing produk dalam negeri. ”Peningkatan daya saing itu yang paling penting, salah satunya yang kami lakukan adalah membangun infrastruktur yang memadai,” kata Hatta.
Hatta juga menjelaskan, setiap negara diperbolehkan mengambil kebijakan melindungi produknya, salah satunya melalui kebijakan safeguard. Terakhir, harus ada upaya untuk meningkatkan kapasitas daya saing produk dalam negeri. ”Satu hal penting yang juga harus dijaga, ternyata tidak semua produk China menggunakan fasilitas free trade. Penyelundupan (produk China) marak sekali dan ini berpengaruh besar di Indonesia,” kata Hatta.
Kalangan pengusaha tekstil mendesak pemerintah segera menerapkan kebijakan safeguard dan antidumping untuk produk pakaian jadi impor dari China. Kebijakan proteksi tersebut dilakukan karena China menjual barang di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar lokal mereka.
Tak perlu batal
Menurut Mari, dengan negosiasi ulang, pelaksanaan ACFTA tidak perlu dibatalkan. Pasalnya, jika bisa mengelola dengan baik, ACFTA akan mendongkrak ekonomi Indonesia. Syarat utamanya adalah perbaikan daya saing industri nasional. ”Kalau industri nasional kompetitif, Indonesia bisa memasok barang ke negara anggota ACFTA,” ujar Mari.
Selain upaya diplomasi, menurut Mari, pemerintah juga memperketat pengawasan barang impor. Semua produk impor harus memenuhi Standar Nasional Indonesia. Tak hanya itu, penggunaan label dalam bahasa Indonesia juga diwajibkan. Jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi, barang impor tidak bisa masuk ke Indonesia.
Pengamanan produk impor secara jelas diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56 Tahun 2008. Menurut ketentuan itu, impor produk makanan dan minuman, alas kaki, pakaian jadi, mainan anak-anak, dan elektronik hanya bisa dilakukan oleh importir terdaftar produk tertentu melalui lima pelabuhan laut tertentu. Kelima pelabuhan tersebut adalah Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Emas (Semarang), Tanjung Perak (Surabaya), dan Soekarno-Hatta (Makassar).
Duta Besar China untuk Indonesia Zhang Qiyue di Bandung, Jawa Barat, menepis anggapan bahwa ACFTA bakal melemahkan negara atau menyerang sektor ekonomi kecil di Indonesia. ACFTA justru menjadi pintu bagi munculnya berbagai kesempatan bagi dua negara.
Menurut Zhang, ACFTA tidak melulu tentang jual beli barang, tetapi juga pengembangan layanan serta masuknya investasi. Hingga akhir tahun 2010, lanjut Zhang, sudah ada 1.000 lebih perusahaan dari China yang mendaftarkan diri ke Indonesia. Dengan jumlah tersebut, diperkirakan terdapat proyek yang bernilai 9,7 miliar dollar AS dan penanaman modal langsung sebesar 2,9 miliar dollar AS. (komp/arrahmah.com)