JAKARTA (Arrahmah.com) – Empat Muslim Uighur yang dipenjara pada 2015 karena pelanggaran terkait teror di Indonesia dideportasi bulan lalu setelah pemerintah Cina membayar denda yang dikenakan pada mereka, kata dua pakar kontra-terorisme kepada BenarNews, layanan berita online yang berafiliasi dengan RFA, pada Jumat (23/10/2020).
Ketika ditanya ke mana mereka dikirim, kedua ahli mengkonfirmasi bahwa keempat pria itu dideportasi ke Cina, di mana pihak berwenang diyakini telah menahan hingga 1,8 juta orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya di jaringan kamp-kamp interniran sebagai bagian dari kampanye penahanan massal yang dimulai pada awal 2017.
“Mereka dideportasi pada September dan denda dibayarkan oleh pemerintah Cina,” kata Deka Anwar, peneliti di Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC), kepada BenarNews.
Mereka adalah Ahmet Mahmud, Altinci Bayram, Ahmet Bozoglan, dan Abdul Basit Tuzer, yang dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan didenda 100 juta rupiah (6.812 US Dollar) oleh pengadilan Jakarta setelah dinyatakan bersalah memasuki negara dengan menggunakan paspor palsu dan untuk mencoba bergabung dengan kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Muhammad Taufiqurrohman, peneliti senior di Pusat Studi Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), mengatakan bahwa keempat pria itu dipulangkan ke Cina setelah petugas imigrasi membawa mereka ke pusat penahanan, setelah mereka keluar dari Nusa Kambangan, sebuah kompleks penjara pulau di laut Jawa, pada 17 September.
“Petugas imigrasi datang ke Nusa Kambangan dengan membawa surat untuk menjemput mereka, mengatakan mereka akan dipindahkan ke pusat penahanan imigrasi,” kata Taufiqurrohman kepada BenarNews. Dia juga mengkonfirmasi bahwa pihak berwenang Cina telah membayar denda keempat pria Uighur tersebut.
Pada Jumat (23/10), koresponden BenarNews menghubungi kedutaan besar Tiongkok di Jakarta untuk mengomentari deportasi keempat pria tersebut, tetapi pejabat di sana tidak segera menanggapi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengaku belum mengetahui informasi tersebut dan meminta koresponden BenarNews untuk menghubungi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Reinhard Silitonga mengatakan kepada BenarNews bahwa dia tidak dapat memastikan apakah keempat pria itu telah dideportasi.
Dan pejabat di departemen imigrasi tidak dapat segera dihubungi untuk memastikan bahwa keempat pria Uighur itu telah dideportasi.
Taufiqurrohman dari PAKAR mengatakan bahwa Indonesia melakukan deportasi terhadap keempat pria tersebut secara diam-diam karena banyak orang di Indonesia yang mengkritik tuduhan penganiayaan Cina terhadap Uighur, yang sebagian besar tinggal di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) di barat laut Cina.
“Pemerintah Indonesia akan dikritik habis-habisan dan dicap terlibat dalam penindasan pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur jika deportasi keempat pria Uighur itu dipublikasikan,” kata Taufiqurrohman.
Selama lebih dari tiga tahun, pemerintah Cina diduga telah memenjarakan ratusan ribu orang Uighur di kamp-kamp penahanan dan mengawasi secara ketat mereka yang tidak ditahan. Bahkan pihak berwenang juga melakukan pelarangan ibadah, pembatasan agama, dan juga sterilisasi paksa kepada wanita-wanita Uighur, kata sebuah laporan yang diterbitkan pada bulan Juni oleh Council on Foreign Relations, sebuah Lembaga pemikir yang berbasis di AS.
Pejabat Cina telah berulang kali membantah tuduhan ini, dengan mengatakan bahwa kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan dan ribuan Muslim Uighur yang ditangkap memiliki hubungan dengan ekstremisme.
BenarNews menginformasikan kepada Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International di Indonesia, tentang pernyataan Deka dan Taufiqurrohman bahwa Indonesia telah mendeportasi empat orang Uighur yang dipenjara atas tuduhan terorisme.
Usman mengatakan, pemerintah Indonesia harus memberikan penjelasan tentang nasib keempat Uighur tersebut.
“Pemerintah Indonesia harus segera memberikan pernyataan resmi terkait kebenaran laporan deportasi keempat Uighur tersebut,” kata Usman.
“Mendeportasi mereka ke negara yang dapat menempatkan mereka pada risiko nyata pelanggaran hak asasi manusia adalah ilegal menurut hukum internasional. Kami memahami bahwa situasi pandemi menimbulkan tantangan bagi pemerintah, tetapi mendeportasi orang asing yang berisiko menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia bukanlah solusi,” jelasnya.
Empat tahun lalu, Indonesia telah menolak permintaan dari pemerintah Cina untuk menukar buronan bankir Indonesia yang ditangkap di Cina dengan empat tahanan Uighur yang menjalani hukuman terkait terorisme.
Indonesia memberi tahu Cina bahwa pertukaran tahanan tidak mungkin dilakukan karena dakwaan terhadap keempat orang Uighur itu berbeda dengan dakwaan terhadap bankir Indonesia.
Saat itu, seorang pejabat Indonesia yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa Indonesia akan menghadapi tekanan internasional jika negara tersebut setuju untuk mendeportasi para tahanan Uighur ke Cina.
“Mengembalikan Uighur ke Cina sama dengan membunuh mereka. Kemungkinan besar, pemerintah Cina akan langsung mengeksekusinya,” kata pejabat itu kepada BenarNews pada April 2019.
Bertahun-tahun sejak itu, pemerintah Indonesia menghadapi kritik di dalam dan luar negeri karena diamnya atas dugaan penganiayaan terhadap orang Uighur di XUAR.
“Indonesia, yang telah memainkan peran positif dalam krisis pengungsi Rohingya, telah menunjukkan komitmennya untuk melindungi hak-hak warga negara lain di negaranya. Seharusnya hal itu juga berlaku bagi Muslim Cina,” kata Human Rights Watch pada Januari.
Desember lalu, ribuan orang turun ke jalan di Indonesia dan Malaysia untuk memprotes perlakuan Cina terhadap komunitas minoritas Muslim.
“Pemerintah Indonesia tidak boleh tinggal diam tentang penderitaan di sana, karena menurut konstitusi kami, pendudukan dan penindasan harus dihapuskan,” kata seorang pengunjuk rasa berusia 48 tahun kepada BenarNews saat mengikuti demonstrasi di luar kedutaan besar Cina di Jakarta.
Beberapa hari sebelum aksi demonstrasi tersebut berlangsung, Moeldoko, Kepala Staf Presiden Joko Widodo, mengatakan Indonesia tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Cina ketika ditanya mengapa pemerintah tidak lebih vokal tentang masalah Uighur.
“Setiap negara memiliki kedaulatannya sendiri untuk mengatur warganya. Pemerintah Indonesia tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Cina,” Kata Moeldoko.
Komentarnya muncul setelah The Wall Street Journal melaporkan bahwa Beijing telah meluncurkan “kampanye bersama” untuk meyakinkan otoritas agama dan jurnalis Indonesia bahwa kamp Xinjiang adalah “upaya yang bermaksud baik” untuk memberikan pelatihan kerja.
Ribuan orang Uighur telah meninggalkan Cina sejak dugaan penganiayaan mereka yang dimulai pada tahun 2012, dan memutuskan untuk pergi ke Turki dan beberapa negara lain.
Deka dari IPAC mengatakan bahwa antara 2014 dan 2016, setidaknya 13 orang Uighur telah masuk ke Indonesia secara ilegal melalui Malaysia.
Mereka telah meninggalkan Cina, melalui perbatasan dengan Laos, menuju Thailand, dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka untuk bergabung dengan ribuan pencari suaka Uighur di Malaysia, kata Deka.
“Di Malaysia, mereka mendapat bantuan untuk memalsukan dokumen agar bisa pergi ke Turki. Namun, banyak dari mereka yang berhasil sampai ke Turki akhirnya dideportasi kembali ke Kuala Lumpur. Beberapa dari mereka lalu menyeberang ke Batam lewat Johor,” terang Deka.
Empat orang Uighur yang dihukum pada tahun 2015 datang ke Indonesia dengan tujuan bergabung dengan kelompok militan MIT dan “melakukan aksi teror”, kata hakim yang memimpin sidang keempat pria Uighur tersebut. (rafa/arrahmah.com)