JAKARTA (Arrahmah.com) – Belum adanya penyelesaian yang kongkrit dari pemerintah tentang kasus Ahmadiyah memunculkan kecurigaan bahwa pemerintah bersikap kurang adil dan pilih kasih. Hal ini diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Ahmad Zainuddin Rabu, (9/3/2011) di Senayan Jakarta.
“Pemerintah terkesan kurang adil dan pilih kasih dalam penyelesaian kasus penodaaan agama khususnya Ahmadiyah. Sampai saat ini masih belum ada penyelesaian kongkrit, padahal sudah lama dan berlarut-larut. Mengapa untuk kasus penodaan agama seperti Lia Aminuddin, Ahmad Mushoddiq dan lain-lain perintah begitu sigap dan cekatan”, kata Zainuddin seperti yang dilansir hidayatullah.
“Sebenarnya sudah ada laporan masyarakat untuk memproses Ahmadiyah sesuai dengan hukum yang berlaku, tetapi tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah, khususnya oleh polisi dan kejaksaan”. Karena itu kata Zainuddin, “Pemerintah terkesan mengulur-ulur penyelesaian masalah ini”.
Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, mestinya pemerintah konsisten dalam menegakkan hukum, tidak boleh pilih kasih. Kalau memang ada pengaduan dari masyarakat harus segera ditindaklanjuti sehingga keadilan itu dirasakan oleh masyarakat”.
“Jika pemerintah dengan sengaja mengulur-ulur penyelesaian dan tidak memproses sesuai dengan prosedur hukum dan perundang-undangan yang berlaku akan melahirkan keresahan dan ketidakpuasan dari masyarakat. Karena itu kita meminta pemerintah agar konsisten dalam menjalan hukum dan perudang-undangan kita”, ungkapnya.
Sebelumnya litbang kementerian Agama mengungkapkan konflik dan pengrusakan telah terjadi sejak tahun 1953 di Sumatera Timur, Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969), Nusa Tenggara Barat (1976), Kalimantan Tengah (1981), Sulawesi Selatan (1981), Kalimantan Barat, Surabaya, Parung Bogor (1981), Riau, Palembang, Sumatera Barat, Jakarta (1990), NTB (2002), Parung Bogor (2006), Kuningan, Majalengka, Sukabumi (2008) dan Cikeusik Pandeglang (2011).
Terkait dengan pelarangan di daerah, Zainuddin menilai, munculnya SK gubernur di berbagai daerah sebagai cermin ketidakpuasan pemerintah pusat.
“Pemerintah pusat harus menangkap fenomena munculnya SK gubenur dan perda-perda larangan ahmadiyah sebagai refleksi ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah pusat yang lamban dan tidak tegas dalam penanganan ahmadiyah.
“Selama pemerintah mentaati Undang-undang, tidak perlu khawatir dianggap melanggar HAM. Karena HAM itu dibatasi oleh Undang-undang,” pungkasnya. (hidayatullah/arrahmah.com)