Oleh Novi Widiastuti
Pegiat Literasi
Wacana pemekaran beberapa wilayah di provinsi Jawa Barat telah lama digagas namun tak kunjung terealisasikan. Seringkali ide ini muncul kembali saat menjelang atau mendekati pemilihan kepala daerah (pilkada) dan kembali tenggelam ketika pilkada usai. Terlepas dari kepentingan apa dan siapa yang diuntungkan, namun ketika wacana pemekaran muncul kembali apakah akan memberikan kemudahan kepada masyarakat atau malah menambah masalah?
Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat dikenal sebagai induk dari wilayah Bandung Raya yang mencakup Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Berdasarkan data tahun 2022, jumlah penduduk Kabupaten Bandung mencapai 3.718.660 jiwa dengan luas wilayah kurang lebih 176.238,67 hektare. Dengan jumlah penduduk yang cukup padat, Kabupaten Bandung memiliki peran yang penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Dilansir dari laman RublikDepok, tanggal 12 April 2024, Kabupaten Bandung siap dimekarkan dengan melahirkan wilayah baru bernama Bandung Timur, yang akan menaungi 12 kecamatan di Kabupaten Bandung. Adapun 12 kecamatan tersebut adalah: Kertasari, Pacet, Ciparay, Majalaya, Ibun, Paseh, Cikancung, Nagreg, Cicalengka, Cileunyi, Cilengkrang, Cimenyan. Jika pemekaran ini berhasil maka pusat pemerintahan Bandung Timur akan ditempatkan di wilayah Rancaekek.
Wilayah yang luas dan kepadatan penduduk yang tinggi menjadi salah satu alasan pemekaran. Jauhnya jarak antara desa-desa di Bandung Timur dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung menjadikan terhambatnya akses pelayanan publik. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi warga dalam urusan administratif yang harus diselesaikan sesegera mungkin.
Pemekaran wilayah berdampak pada semua bidang, termasuk ekonomi, politik, dan sosial budaya. Selain itu, juga berdampak pada tata kelola pemerintahan yang menjadi garda terdepan dalam mewujudkan suatu sistem pemerintahan. Pemekaran wilayah dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan dan memberikan akses yang lebih mudah dijangkau oleh masyarakat.
Namun di sisi lain, dalam proses pemekaran wilayah, dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti kesesuaian standar pelayanan publik di wilayah baru dan ketersediaan sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas di wilayah baru yang belum siap. Pemekaran wilayah hendaknya berbanding lurus dengan kesiapan berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan pelayanan publik.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun Tahun 2007, tata cara pembentukan, pembubaran, dan penggabungan daerah ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain kemampuan ekonomi (modal, potensi atau kapasitas daerah), sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas wilayah, pertahanan, keamanan dan elemen lainnya. Hal ini memungkinkan tercapainya otonomi daerah. Selanjutnya dalam pembentukan suatu daerah perlu adanya pemenuhan sarana dan prasarana pemerintahan.
Tujuan dari pemekaran adalah peningkatan kesejahteraan dan kemudahan akses pelayanan publik. Dua hal yang masih menjadi pekerjaan rumah yang belum juga dituntaskan oleh pemerintah. Indikator terpenuhinya kesejahteraan adalah rakyat dengan mudah dapat memenuhi kebutuhan primer (pangan, sandang dan papan). Realitasnya, rakyat masih berjuang sendiri memenuhi kebutuhan primer ini yang sebetulnya tugas negara sebagai penyelenggara pemerintahan. Jika hal ini saja belum mampu diwujudkan negara (pemerintah) maka bagaimana mungkin pemekaran akan berbuah kesejahteraan?
Adapun indikator kemudahan akses pelayanan adalah terpenuhinya pelayanan yang cepat, mudah dan profesional. Beberapa daerah yang telah mengalami pemekaran ternyata masih mengalami hambatan untuk memenuhi keduanya. Disinyalir permasalahannya adalah bukan urusan mekar atau tidak, tapi sistem kehidupan yang berlaku di Indonesia yang bermasalah, karena menganut kapitalisme sekuler.
Pemekaran wilayah adalah aspek administratif yang bertujuan untuk mempermudah pelayanan publik dan memaksimalkan fungsi pengaturan urusan masyarakat. Hal ini merupakan uslub dalam bidang ketatanegaraan. Khalifah Umar bin Khattab pada masa pemerintahannya pernah membentuk suatu kota baru yang awalnya adalah kamp militer, kota itu bernama Bashrah. Wilayah yang pada awalnya merupakan basis pasukan Persia, lalu ditaklukan oleh pasukan yang dipimpin oleh Uthbah bin Ghazwan. Umar bin Khattab menunjuk Abu Musa Al-’Asyari sebagai gubernur, beliau mulai merancang tata kota, pemukiman, irigasi dan akses jalan. Bashrah pun menjadi kota metropolit pusat pendidikan, ekonomi dan peradaban Islam di wilayah bekas Persia.
Sistem pemerintahan dalam Islam membolehkan adanya pemekaran wilayah didasarkan pada kaidah umum untuk mencapai kemashlahatan umat. Dr. Abdul Karim Zaidan dalam kitab Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah mencantumkan kaidah fikih :
“Melakukan tindakan kepada rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan.”
Kaidah ini didasarkan pada hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam:
“Seorang hamba yang diberikan kekuasaan oleh Allah atas rakyat lalu dia tidak memperhatikan dan menjaga mereka, maka dia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Bukhari)
Menurut Imam An-Nawawi, “Para ulama mengatakan bahwa pemimpin adalah orang yang menjaga, terpercaya, dan disiplin dengan kebaikan tanggung jawabnya terhadap segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya, dia dituntut bertindak adil dan menjalani kemaslahatan agama, dunia, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.” (Syarah sahih Muslim An-Nawawi)
Maka proses pemekaran wilayah jika dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan rakyat adalah suatu kebaikan. Akan tetapi perlu diwaspadai dalam sistem kapitalis demokrasi, pemekaran wilayah dapat disalahgunakan untuk memunculkan oligarki baru, ajang korupsi dan sekedar proyek. Daerah daerah yang belum siap mekar malah akan menyebabkan kerusakan yang lebih luas. Maka pemekaran wilayah perlu dilandaskan pada ide dan ajaran Islam, sehingga benar benar bisa mendatangkan maslahat bukan untuk kepentingan segelintir elit politik.
Wallahu ‘alam bishshawab