TEL AVIV (Arrahmah.id) — Ribuan orang bergabung dalam aksi hening ‘March of the Dead’ di Tel Aviv sambil membawa puluhan peti mati di pundak untuk memprotes gelombang pembunuhan terorganisir pada warga Palestina-Israel.
Dilansir Middle Est Eye (7/8/2023), selama hampir dua dekade, warga Palestina-Israel telah hidup di bawah ancaman dan pembunuhan kejahatan terorganisir di Galilea, al-Muthallath dan Naqab (Negev).
Sejak awal tahun, setidaknya 141 warga Palestina-Israel telah dibunuh oleh geng kejahatan terorganisir. Sebagian besar kasus pembunuhan belum tertangkap, hanya 15 persen saja yang berujung di depan pengadilan.
Selama pawai pada hari Ahad (6/8), warga Palestina, aktivis, warga Yahudi, dan organisasi masyarakat sipil menyerukan tindakan melawan kejahatan terorganisir dan mengecam kegagalan polisi untuk melindungi warga Palestina-Israel.
Para pengunjuk rasa membawa 141 peti mati untuk mengenang para korban yang tewas sejak awal tahun ini.
“Kami menolak semua jenis geng yang menyapu kota kami. Pihak berwenang Israel bertanggung jawab karena telah mentolerir mereka sejak awal,” ungkap Jaber Hijazi yang berpartisipasi dalam March of the Dead kepada Middle East Eye.
Banyak warga Palestina menuduh otoritas Israel mengabaikan dan terlibat dengan penjahat dalam upaya untuk melemahkan tatanan sosial komunitas mereka dan membuat mereka merasa tidak aman.
Pada tahun 2021, seorang perwira polisi senior yang tidak disebutkan namanya dilaporkan mengatakan bahwa pelaku kejahatan di kota-kota Palestina “kebanyakan adalah informan Shin Bet”, lembaga intelejen Israel.
“Dalam situasi ini, polisi tidak dapat berbuat banyak karena para informan tersebut memiliki kekebalan dan tidak dapat disentuh,” kata petugas tersebut seperti dikutip oleh media Israel. (hanoum/arrahmah.id)