(Arrahmah.com) – Siyono asal Klaten adalah lelaki 34 tahun yang ditangkap anggota Densus 88 seusai menunaikan salat Maghrib di masjid samping rumahnya pada 8 Maret 2016. Ayah lima anak itu dikabarkan tewas pada 11 Maret 2016. Polisi berkilah Siyono tewas setelah berkelahi dengan anggota Densus 88. Polri pernah merilis hasil otopsi jenazah Siyono menunjukkan, Siyono meninggal karena adanya pendarahan di rongga kepala bagian belakang.
Diduga pendarahan tersebut karena benturan dengan bingkai jendela di dalam mobil. Saat itu, ia diantar dengan dua anggota Densus untuk menunjukkan tempat persembunyian senjata milik kelompok Jamaah Islamiyah yang ia ikuti. Melihat ada keanehan dalam kematian Siyono, keluarga meminta polisi melakukan otopsi ulang. Namun permintaan itu tidak dipenuhi. Istri Siyono, Suratmi, justru sering didatangi orang-orang tak dikenal yang diduga polisi. Mereka membujuk Suratmi untuk merelakan kematian Siyono. Bahkan Suratmi mendapat dua gepok uang. Suratmi bergeming. Dia tetap ingin kematian suaminya diusut. Uang itu kemudian dia serakan kepada Pengurus Pusat Muhammadiyah. Suratmi juga meminta bantuan Muhammadiyah untuk memberikan advokasi.
Awalnya pihak kepolisian menyebut bahwa penyebab tewasnya Siyono usai ditangkap Densus 88 karena kelelahan, usai berkelahi dengan Densus 88 saat dalam pengembangan kasus. Namun kemudian kepolisian meralat sendiri alasan itu dengan mengatakan bahwa Siyono meninggal akibat “kelalaian” Densus 88.
Komnas HAM menduga ada pelanggaran prosedur dalam penangkapan yang berujung pada kematian Siyono. Diduga tidak ada surat perintah penangkapan. Yang ada hanya surat penyerahan jenazah berkop surat Kepolisian RI. Meski Siyono dilabeli sebagai terduga teroris, penangkapannya pada Selasa dua pekan lalu itu tentu tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Penangkapan yang berujung kematian Siyono itu menyisakan banyak pertanyaan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar menyatakan polisi telah berbohong dalam memberikan informasi tentang kematian terduga teroris, Siyono. Sebab awalnya polisi menyatakan jenazah Siyono sudah diotopsi dan menemukan penyebab kematian karena ada benturan keras di kepala. “Sekarang justru mengatakan, autopsi tidak dilakukan karena keluarga menolak dilakukannya otopsi dan meminta jenazah segara dimakamkan,” katanya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa, 5 April 2016.
Selain itu, polisi juga menyebutkan, keluarga sempat melihat kondisi jenazah saat di rumah sakit. Padahal fakta yang ditemukan Muhammadiyah, kata Dahnil, polisi justru melarang keluarga untuk membuka kain kafan Siyono saat itu. “Keluarga diminta menandatangani surat ikhlas, Pak Marso, orang tua Siyono menandatangani tapi Suratmi, istri Siyono menolak,” katanya.Komisioner Komnas HAM Siane Indriyani mengungkapkan, berdasarkan hasil autopsi menurut dokter terdapat banyak patah tulang di bagian dada Siyono. “Ada banyak patah tulang di dada. Hasil lengkap akan dianalisis menunggu pemeriksaan laboratorium. Yang jelas kami berterimakasih dukungan masyarakat setempat yg sangat membantu proses autopsi,” ujar Siane, Minggu (3/4/2016). Siane juga menegaskan, adanya penolakan dari warga terhadap proses autposi seperti yang dikatakan kepela desa adalah bohong. Justru yang terjadi malah sebaliknya.
Umat Islam dewasa ini memang benar-benar dalam keadaan terpuruk; tak henti mengalami penindasan, aneka ketidakadilan dan kezaliman. Namun, ketika hendak melakukan perlawanan terhadap semua itu, malah dituduh teroris. Dalam situasi seperti itu, lahirnya berbagai kelompok perlawanan yang menempuh berbagai cara, termasuk melakukan pengeboman di sana-sini, menyasar obyek yang semestinya tidak boleh dijadikan sasaran, jelas makin memperkeruh keadaan. Alih-alih persoalan terurai, yang terjadi keadaan umat dan citra Islam justru makin terpuruk.
Bukan rahasia lagi bahwa pemerintah telah menjadikan “perang melawan terorisme” sebagai dalih untuk memukul gelombang ketidakpuasan dan kebangkitan Islam, juga sebagai dalih untuk mencegah gerakan rakyat terhadap kebijakan-kebijakannya. Semua ini mengikuti kebijakan yang dilakukan tuannya (Amerika) untuk wilayah ASEAN.
Seperti kebiasaan para penguasa Muslim lainnya yang menggambarkan kekalahan dengan kemenangan, serta politik (kebijakan) penjarahan dan pemiskinan dengan “proyek-proyek besar”, dimana Jokowi berbicara tentang situasi ekonomi yang akan membaik dan hasil dari kebijakan-kebijakannya “yang bijaksana” akan dirasakan kemudian.
Pemerintah sibuk menggolkan agenda yang merugikan rakyatnya, yakni revisi terhadap UU anti terorisme”. Menurut Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, “Salah satu pasal penting yang ditambahi dalam draf revisi tersebut adalah soal penindakan terhadap seseorang yang melakukan penistaan pada negara dengan tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penunjukan apa yang dimaksud dengan pasal penambahan dari revisi UU itu juga tidak jelas dan kabur.
Luhut mengatakan selama ini orang atau sekelompok orang yang tidak mengakui negara Republik Indonesia dan menyatakan ingin mendirikan negara sendiri seperti halnya ISIS, bisa bebas menyatakan pengakuannya karena memang tidak ada undang-undang yang mengaturnya.
Kenapa Luhut langsung menohok ke ISIS. Kenapa tidak OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang jelas-jelas sudah mendaftarkan kemerdekaan Papua diri ke PBB tidak termasuk teroris? Bahkan dua orang anggota TNI beberapa waktu lalu dikabarkan di Papua sudah ” dimasak”. Jelas pernyataan Luhut ini paranoid dan irrasional.
Di kesempatan lain Luhut juga menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap Islam atas nama terorisme. “Kami desain UU ini agar negeri ini aman. Teroris itu 50 % lebih balik lagi menjadi teroris. Kalau dia mau masuk ke surga, ketemu 76 angels (bidadari) nya, fine (baik). Kau pergi saja, suruh Ustadznya aja pergi dulu. Dia cerita bagus baru balik sini, biar kita rame-rame ke sana.” Isi kepala Luhut seolah tidak ada tafsir lain persoalan terorisme ini kecuali Islam dan kaum Muslimin.
Amerika Serikat dan Inggris yang bersaing pengaruh atas Papua sama sekali tidak dicurigai sebagai teroris. Duta Besar Amerika seminggu melakukan “kunjungan” ke Papua, Demikian pula Dubes Inggris. Papua diperebutkan asing, kenapa Luhut diam?
Adapun perang terhadap teror, tidak lain hanyalah kedok yang ditenun Amerika untuk menyembunyikan apa yang ada di balik bajunya. Kisruh politik yang terjadi di negeri-negeri kaum Muslimin menjadikan negeri-negeri ini menjadi sasaran invasi kaum kafir imperialis menggunakan tentara, pakta, berbagai penyesatan dan konspirasi tanpa khawatir apa-apa. Kisruh politik itu membunuh kawasan tempat kaum Muslimin tinggal.
Tsunami politik itu bukan hanya kekecewaan terhadap sistem pemerintahan di negeri kaum Muslimin semata. Akan tetapi yang lebih dalam pengaruhnya dan lebih berbahaya lagi adalah kekosongan politik akibat tidak diterapkannya syariah. Hal itu menyebabkan disintegrasi di dalam tubuh umat, sehingga urusan umat kacau. Wilayahnya pun siap untuk terjadinya kekacauan, kelemahan, dan kehinaan. Itu menjadi satu celah bahkan banyak celah. Maka mudah bagi para penjajah menyerang negeri Islam dan berikutnya negeri Islam diperintah oleh para diktator.
Penulis: Ainun dawaun Nufus (Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kediri)
(*/arrahmah.com)