ARAKAN (Arrahmah.com) – Di negara bagian Arakan, pembunuhan masih berlanjut, khususnya di Maungdaw dan Buthidaung setelah keadaan darurat dideklarasikan oleh Presiden Thein Sein, ujar seorang tetua Arakan seperti dilansir kaladan news.
Kemarin (13/6/2012) sekitar pukul 13.05 waktu setempat, seorang Muslim Rohingya ditembak mati oleh Nasaka (pasukan keamanan perbatasan Burma) saat ia menyebrang jalan menggunakan sepeda.
Korban diidentifikasikan sebagai Sayed Karim (38), putra Azaw, berasal dari desa Oh-Daung, Maungdaw dan mengancam penduduk desa akan menembak mereka saat mereka berusaha mengambil jenazahnya.
Menurut sumber berbesa, sekitar pukul 12.00 tengah malam, sekelompok penduduk desa Natala pergi ke desa Oh Daung dengan senjata mematikan untuk menyerang penduduk desa Rohingya dan membakar sebuah Masjid. Sementara itu, seorang warga yang melihat kejadian tersebut berteriak minta tolong. Mendengar keributan, warga bergegas ke tempat kejadian dan berusaha memadamkan api, lalu warga desa Natala melarikan diri dari tempat kejadian saat penduduk desa setempat mendekat.
Setelah kejadian, sekitar pukul 12.00 siang harinya, sekelompok Nasaka mendatangi desa dan melepaskan tembakan ke arah penduduk di mana Abdul Hamid dan seorang pemuda lainnya tewas ketika mereka hendak melaksanakan sholat dzuhur.
Di kota Maungdaw, sekitar pukul 22.30 waktu setempat, Kur Shida Begum (14), putri dari Rashid Ahmed, berasal dari desa Shwe Zaar terluka di tangannya saat tentara melepaskan tembakan membabi buta ke desa, ujar seorang warga desa.
Dua hari lalu (12/6), sekitar pukul 11.30, ketika warga dari desa Natala berencana menyerang penduduk desa Zawmatet, Tharay Kundan dan Thanda di selatan Maungdaw, penduduk desa Rohingya mempersiapkan diri mereka menghadapi serangan. Mengetahui hal ini, penduduk desa Natala melarikan diri.
Satu kapal berisi sekitar 39 orang termasuk anak-anak dan perempuan, berhasil mencapai Pulau Saint Martin kemarin malam, mereka berencana berlindung di Bangladesh, tetapi pemerintah Bangladesh tidak memungkinkan mereka untuk masuk. Mereka mendapat kesempatan melarikan diri ke Bangladesh saat suami mereka mencari ikan di laut dan sebuah insiden terjadi di desa mereka di Zaliya Para, Akyab. Kapal lainnya tenggelam di laut dalam perjalanan menuju Bangladesh akibat tembakan peluncur roket oleh Angkatan Laut Burma. Semua rumah dibakar oleh sekelompok Rakhine dan sebagian besar warga dibunuh oleh Rakhine, polisi dan Hluntin (polisi anti-huru hara). Sebagian besar penduduk desa tewas setelah melompat ke laut, menurut seorang tetua Akyab yang melarikan diri ke Bangladesh.
Duta PBB Vijay Nambiar, penasehat khusus Ban Ki-moon, didampingi oleh para pemimpin Muslim dari Rangoon dan perbatasan Burma serta menteri urusan umum Thein Htay terbang ke Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine yang bergolak, kemarin (13/6).
Nambiar juga mengunjungi Maungdaw di mana serentetan kekerasan terjadi dimulai pada Jumat pekan lalu.
“Kami di sini untuk mengamati dan menilai bagimana kami dapat terus memberikan dukungan untuk Rakhine,” ujar Ashok Nigam, koordinator penduduk dan kemanusiaan PBB kepada AFP.
PBB telah mengevakuasi sebagian besar staf asingnya dari Maungdaw yang merupakan basis utama di negara bagian di mana populasi Muslim Rohingya hidup.
“Bangladesh memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk menjaga perbatasan terbuka untuk mereka yang melarikan diri dari ancaman terhadap kehidupan mereka dan memberikan mereka perlindungan,” ujar Frelick.
Ia juga mendesak pemerintah lain untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan dukungan lainnya untuk para pengungsi.
Masyarakat Rohingya di negara bagian Arakan telah menderita kelaparan karena mereka tidak memiliki makanan, tidak ada air bersih dan akses medis. Mereka berada di bawah kontrol keadaan darurat negara sehingga mereka tidak bisa membeli apa saja di pasar karena diberlakukan jam malam di daerah Rohingya sepanjang hari. (haninmazaya/arrahmah.com)