Oleh Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
“Apakah Anda mencari peluang untuk menjual ginjal demi uang karena masalah finansial dan kami akan menawarkan Anda US$500 ribu (Rp7,6 miliar) untuk Ginjal Anda,” mengatasnamakan Dokter Victoria Herbert Newton, Nefrologi di Rumah Sakit Transplantasi Ginjal Nathan, situs drsamuelbansa.
Siapa kira paragraf iklan di salah satu situs jual-beli organ di internet yang kini sudah diblokir oleh pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) itu bisa menjadi pemicu atas pembunuhan bocah 11 tahun oleh dua remaja berusia 17 dan 14 tahun? Astaghfirullah betapa mengerikannya.
Hal itu bukan hoax adanya. Bahwa telah terjadi penculikan diakhiri pembunuhan anak kelas 5 SD, Muh. Fadil Sadewa. Jasad malangnya telah ditemukan di kolong jembatan Jalan Inspeksi Pan Timur, Waduk Nipa-Nipa, Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Selasa (10/1), (BBC News Indonesia, 14/1/2023).
Masih dari laman yang sama pihak kepolisian Polrestabes Makassar melalui Kasi Humasnya, Kompol Lando S.K. memberikan pernyataan kepada publik bahwa hingga berita tersebut dibuat, tidak ada sindikat penjualan organ tubuh di wilayah kewenangannya. Namun dirinya membenarkan bahwa motif pelaku membunuh karena tergoda iklan penjualan organ ginjal yang beredar di aplikasi medos. Harga yang ditawarkan demikian fantastinya. Untuk penjualan satu organ ginjal sebesar Rp1,2 miliar (US$80 ribu). Mirisnya, pelaku mengaku ketika proses pembunuhan sudah dilakukan, pihak yang menjanjikan akan bertransaksi mendadak tidak bisa dihubungi. Mereka panik dan gelap mata hingga langsung membuang jasad korban ke kolong jembatan.
Bukan Hal Baru
Kejahatan terorganisir dari sindikat penjualan organ tubuh itu faktanya ada dan bukan hal baru. Pada tahun 2016 di Bandung Jawa Barat telah terungkap jaringan perdagangan ginjal dengan 30 korban. Mereka bertransaksi kisaran Rp75-Rp90 juta/ginjal. Adapun praktik transplantasi dikerjakan di RSCM Jakarta. Ini menandakan betapa jejaring sindikatnya demikian rapi dan terorganisir.
Sindikat berikutnya yang berhasil diciduk kepolisian terjadi pada tahun 2019. Mereka melakukan modus jauh lebih rapi dari pendahulunya. Proses persetujuan dari pendonor dan penerima dilegalisasi di hadapan notaris.
Itu baru dua contoh kasus yang terjadi di dalam negeri. Fenomenanya tak mustahil ibarat gunung es. Kasus yang tak terungkap jauh lebih banyak. Belum lagi untuk kasus-kasus yang melibatkan pihak luar negeri. Kian mengerikannya.
Tumbal Transformasi Digital
Kengerian yang tiada terperi dalam kasus tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor.
Faktor pertama dari sisi pelaku pembunuh korban. Di satu sisi kita melihat betapa Indonesia tengah mendandani diri untuk melaju mengikuti transformasi teknologi yang digaungkan dunia di era 4.0. Namun di sisi lainnya didapati betapa masyarakat luas tidak dibekali pengetahuan dalam berliterasi di media informasi global (internet). Mereka gagap dan mudah tergiur dengan ajakan hingga inspirasi sesat sekalipun yang didapat dari website atau jejaring medsos. Masyarakat juga banyak yang tidak mampu memilah mana konten baik dan buruk, berfaedah atau unfaedah, fakta dan hoax, bahkan realistis dan unrealistis-kah.
Faktor kedua betapa masyarakat saat ini hidup dalam kondisi serba sulit. Sistem ekonomi Kapitalisme yang diberlakukan menjadikan banyak individu rakyat tidak tercukupi kebutuhan asasinya, sandang, pangan, papan. Terlebih ketika berhadapan dengan kebutuhan terhadap akses pendidikan hingga kesehatan. Bermunculanlah individu-individu yang terbelit persoalan ekonomi, sementara keimanan yang ada dalam diri kian tipis disebabkan suasana sekularistik yang mendominasi. Hingga kedua faktor ini dapat menjerumuskan individu masyarakat terperangkap mengambil solusi-solusi yang dianggap mudah dan ada di hadapan.
Faktor ketiga transformasi teknologi informasi global yang ada ibarat memiliki dua mata pisau. Mata pisau pertama bersifat positif karena akan mendorong masyarakat dunia lebih diberi kemudahan dalam kehidupan mereka. Namun di sisi lain menjamurnya pemikiran dan budaya sesat dari Barat bisa ditelan mentah-mentah oleh individu masyarakat kita. Sebut saja prinsip hedonis yang akan menjadikan seseorang melakukan beragam aktivitas demi tujuan kesenangan dan kemudahan semata. Benar atau salah sudah tak lagi dipedulikan, karena toh agama telah dijauhkan dari kehidupan dengan prinsip sekuler.
Konsisi di atas bertemu dengan faktor keempat yakni sistem hukum di negeri ini yang sudah bukan rahasia lagi banyak cacatnya. Mulai dari tajam ke atas tumpul ke bawah; mudah dibeli dengan uang, hampir semua jenis kejahatan hanya menggunakan mekanisme penjara dan denda berupa uang sebagai sanksinya, merebak sistem tebang pilih, dan lainnya. Hal itu berdampak efek jera yang semestinya dimiliki oleh sistem hukum tiada didapat. Tak mengherankan kasus penjualan organ di Indonesia meski dilarang dan terkategori melanggar hukum, tapi faktanya masih terus bermunculan bahkan dengan modus yang makin rapi terorganisir.
Faktor kelima adalah lemahnya peran negara dalam membendung budaya rusak yang disebarkan melalui sistem teknologi informasi global. Semua informasi tidak mendapat penyaringan yang berarti. Bagai air bah yang menderas dahsyat memenuhi hingga ruang privat individu masyarakat melalui kecanggihan seluler pintarnya. Ini salah satunya dibuktikan dengan proses take down yang selama ini dilakukan oleh Kemenkominfo pun lebih bersifat reaktif dibanding antisipatif.
Kapitalisme Sekularisme Biangnya
Dengan menelusuri semua faktor di atas, sungguh problem tersebut tidak bisa dianggap kasuistik, melainkan sistemik. Sistem Kapitalisme sekulerlah biangnya. Anak-anak semisal Dewa, si korban pembunuhan, bahkan kedua pelaku pun, mereka semestinya masih dalam usia-usia yang membutuhkan pengurusan dari para orang tuanya. Pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya adalah hak yang wajib dipenuhi oleh ayah ibu mereka. Apalah daya, sistem ekonomi kapitalis telah melahirkan kemiskinan sistemik. Banyak para ayah yang demikian kesulitan dalam memenuhi semua kebutuhan anak dan istrinya. Terlebih dengan kenyataan betapa Kapitalisme mengamanatkan kepada negara untuk melepas kewajiban mengurus dan mengadakan semua fasilitas kebutuhan kolektif rakyat dengan sebaik mungkin. Adapun kebutuhan asasi individu masyarakat berupa sandang, pangan dan papan diserahkan ke tangan swasta tentu dengan prinsip murni bisnis, bukan pengurusan. Semua kebutuhan hidup wajib ditebus dengan lembaran rupiah yang kian tak terjangkau.
Liberalisme sebagai satu pilar dari sistem kapitalis memberikan ruang sangat luas bagi penyebaran informasi melalui transformasi teknologi global. Negara pun dalam hal ini lengah dan mandul dalam memberi filter konten negatif yang beredar.
Solusi Islam
Jika di sistem Kapitalisme individu masyarakat menjadi tumbal dari transformasi digital, tidak demikian dengan sistem Islam. Sistem hidup yang berasas akidah Islam, bahwa pilar peraturannya akan senantiasa diarahkan menuju ketundukan semata hanya pada Zat Yang Maha Kuasa.
Islam tidak mengharamkan setiap produk ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk di antaranya sistem transformasi digital global. Namun dengan asas akidah Islam yang kokoh, aturan main dalam transformasi tersebut akan disandarkan pada syariat (aturan Islam). Apapun hasil IPTEK yang baik dan bermanfaat, boleh untuk dikembangkan di dalam negeri, selama tidak bertentangan dengan syariat.
Negara membekali hal demikian dengan sistem pengaturan informasi dan teknologi yang sangat ketat berbasis syariat. Konten hoax, unfaedah, unrealistis, terlebih melanggar syariat sudah pasti tidak akan beredar. Meski demikian, negara tetap memberi keleluasaan kepada semua rakyat untuk mendirikan media atau membuat grup-grup dalam platform medsos yang tersedia.
Individu rakyat yang tersuasanakan akidah, nafsiyah (ketundukan) dan aqliyahnya (pemikiran) dengan Islam akan bersemangat dalam memanfaatkan media basis transformasi digital dalam rangka menyebarkan konten berfaedah dan amar makruf nahi mungkar.
Pendidikan dalam beragam dimensi termasuk di dalamnya kecakapan berliterasi baik di dunia nyata maupun maya menjadi salah satu tugas negara untuk memenuhinya. Hal ini sebagaimana prinsip kepemimpinan dalam sistem Islam sesuai hadis Rasulullah saw.,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Dengan prinsip tersebut maka pemimpin dalam sistem Islam akan menjalankan amanahnya untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Mulai dari sandang, pangan, papan, dan juga hajat kolektif berupa pendidikan, kesehatan hingga keamanan.
Dalam perkara ekonomi, sistem Islam mewasiatkan kepada negara untuk menjadikan sumber daya alam yang melimpah sebagai milik rakyat yang wajib dikelola mandiri oleh negara. Hasilnya inilah yang akan diserahkan sepenuhnya untuk sebesar-besar urusan rakyat. Maka dengannya, tak akan didapati problem kemiskinan sistemik yang menjerat rakyat hingga bisa gelap mata terjerumus pada jurang kriminalitas.
Dengan sumber pemasukan harta kekayaan yang melimpah itu pula, negara tidak akan pragmatis mengambil kerjasama-kerjasama dengan pihak provider dan media teknologi informasi swasta hingga asing. Ketika mereka membawa misi yang bertentangan dengan syariat, tidak akan diberi izin mengembangkannya di dalam negeri.
Ketika semua hal di atas telah diselenggarakan dan masih didapati ada pelanggaran, maka negara memiliki sistem sanksi (nizamul ‘uqubat fi al-Islam) yang tegas. Dalam bentangan sejarah peradaban dunia ketika diberlakukan sistem Islam, kasus-kasus kriminal demikian dapat ditekan seminimal mungkin. Itu karena salah satunya betapa sistem sanksi dalam Islam bersifat zawajir (mencegah) di kehidupan dunia dan jawabir (menebus dosa) di kehidupan akhirat.
Kita semua tentu tak menginginkan transformasi digital global yang ada terus merenggut tumbal. Tak perlu ada Dewa-Dewa berikutnya sebagai korban yang meregang nyawa dengan kondisi mengenaskan. Maka sudah sepatutnya kita selaku umat Islam menyadari ini dan bersama-sama membangun kesadaran di tengah masyarakat untuk memperjuangkan tegaknya sistem Islam sebagai bentuk ketundukan kita kepada Zat Yang Maha Pencipta. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.