TRIPOLI (Arrahmah.com) – Kepala tentara pemberontak Libya telah mengutuk NATO atas lambannya rantai komando dalam memerintahkan serangan udara untuk melindungi warga sipil. Ia mengatakan aliansi itu “membiarkan rakyat Misrata mati setiap hari,” seperti dilansir Reuters, Selasa (5/4/2011)
Kota Misrata yang terkepung, yang merupakan satu-satunya pusat populasi besar di Libya barat tempat bertahannya pemberontakan menghadapi tank-tank tentara dan penembak jitu suruhan Gaddafi, sekarang menjadi prioritas bagi serangan udara NATO, kata para pejabat aliansi sebelumnya.
“NATO seolah memberikan kebahagiaan kepada kami dan kemudian melakukan pemboman di sana sini, tapi membiarkan orang-orang Misrata mati setiap hari,” kata Abdel Fattah Younes, kepala pasukan pemberontak di kota kubu timur, Benghazi. “NATO telah mengecewakan kami.”
Sebagai reaksi, NATO mengatakan telah melaksanakan mandatnya secara optimal.
NATO mengambil alih komando operasi militer dari koalisi yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis pada tanggal 31 Maret lalu. Pengalihan mandat menempatkan aliansi militer Barat ini bertanggung jawab atas serangan udara yang menargetkan infrastruktur militer Gaddafi sebagaimana kewajibannya untuk menegakkan zona larangan terbang dan embargo senjata.
NATO telah bergerak sangat lamban, membiarkan kekuatan Gaddafi terus melaju, Younes mengatakan. Ia dan kelompoknya sedang berpikir untuk mengajukan masalah ini pada Dewan Keamanan PBB yang berwenang atas misi di Libya.
“NATO telah menjadi masalah kami,” katanya.
Seorang juru bicara pemberontak mengatakan Misrata diserang lagi pada Selasa (5/4).
“Misrata telah diberondong dengan tank, tembakan, dan mortar artileri,” salah seorang anggota pemberontak, yang bernama Abdelsalam, mengatakan kepada Reuters. Ia menambahkan: “Sayangnya operasi NATO belum efektif untuk mencegah warga sipil Misrata meninggal setiap harinya.”
Sementara di garis depan pertempuran di Libya timur, pembelotan dari kalangan Gaddafi dan nasib warga sipil yang terjebak dalam pertempuran atau menghadapi kekurangan pangan dan bahan bakar, telah mendorong kebingungan diplomatis untuk mencari solusi atas perang sipil di produsen minyak di negara gurun Afrika Utara ini.
“NATO seharusnya melakukan tugasnya dengan baik atau saya akan meminta dewan nasional untuk mengangkat masalah ini dengan Dewan Keamanan,” kata Younes, seorang mantan menteri dalam negeri dalam pemerintahan Gaddafi yang membelot, pada wartawan.
“Reaksi NATO sangat lambat. Seorang pejabat memerintah kepada pejabat lain, kemudian pejabat itu menyampaikan perintah ke direktur NATO, dan dari direktur NATO barulah perintah tersebut sampai ke komandan lapangan,” lanjut Younes.
“Misrata sedang ditimpa oleh pemusnahan massal.”
Saat ditanya mengenai ungkapan Younes, juru bicara NATO, Oana Lungesu, menyatakan, “Fakta itu membicarakan mereka sendiri. Kecepatan operasi sejak NATO mengambil alih komando, belum mereda. Kami telah melakukan 851 serangan dengan daya jangkau pendek dalam enam hari terakhir … kami memenuhi mandat kami.”
Pejabat NATO mengatakan, “Para pemberontak tidak dapat melihat kami Kami mungkin 100 atau 150 kilometer dari mereka. Kami agak jauh dari tempat pertempuran yang terjadi sehingga pemberontak yang tidak menyadari.”
“Saat ini, kami telah mengambil 30 persen dari kapasitas militer Gaddafi,” kata Brigadir Jenderal Mark van Uhm, seorang staf senior NATO, di Brussels. (althaf/arrahmah.com)