JAKARTA (Arrahmah.com) – Menteri Kordinator Perekonomian, Hatta Rajasa memastikan kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) akan dilakukan per 1 April 2012. “Di dalam UU APBN tahun 2012 diamanatkan pemerintah pembatasan terhadap BBM bersubsidi. Sudah ditegaskan per 1 April,” katanya usai sidang kabinet perdana, Selasa (3/1), dilansir republika online.
Ketika membaca begitu banyak informasi tentang hal ini di internet serta melihat beritanya di televisi, saya mencoba untuk mahfum bahwa era subsidi rakyat nampaknya sudah harus ditinggalkan. Bagaimana pun dunia yang berubah dengan segala kompleksitasnya harus mengikuti sistem yang sudah ada, dan apa yang ditawarkan oleh dunia (Amerika dan zionis kapitalis) saat ini adalah sebuah mahzab yang disebut Globalisasi. Dampak besar dari globalisasi adalah monopoli industri yang dilakukan oleh para kompeni super kaya yang berada di pucuk tertinggi piramida dengan memanipulasi seluruh lini sosial, politik, ekonomi dan budaya bangsa-bangsa yang berada dalam genggaman tangannya.
Aneh tapi nyata, Indonesia yang dulu adalah anggota OPEC sekarang mengimpor minyak dan harus menerima kenyataan bahwa harga minyak dunia tidak lagi ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran pasar (jual-beli) namun oleh sekelompok orang yang bermain di papan bursa baik komoditi, pasar saham atau pasar uang. Setahu saya harga BBM di Indonesia masih mengikuti patokan harga MOPS (Mean of Platts Singapore) karena kita tidak bisa menentukan sendiri harga BBM dalam negeri. Mengapa negara yang begitu kaya dengan minyak, di mana para petani dan penambangnya bahkan lebih banyak bermandi minyak daripada air tidak bisa menentukan harga minyaknya sendiri?
Data dari Koran Tempo menyebutkan setiap hari sekitar satu juta barel minyak mentah diangkat dari perut bumi, dalam bahasa industri disebut oil lifting. Meskipun dengan tingkat konsumsi yang juga sudah sedemikian besar namun data ini membuktikan pada kita bahwa negara ini setidaknya ‘memiliki minyak’ dengan kapasitas yang cukup untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Bila bumi Indonesia demikian kaya dengan minyak, lalu mengapa kita tidak bisa menentukan harga minyak kita sendiri? Sebagai orang awam dalam industri minyak, saya hanya mencoba berpikir secara sederhana, pikiran yang mungkin merepresentasikan otak-otak rakyat jelata warga Indonesia lainnya, bahwa jika seorang Tuan Tanah memiliki hamparan jagung di tanahnya dan di kampung itu hanya ada satu pasar maka Tuan Tanah pasti menjadi penentu harga jagung di pasar tersebut. Siapa pun yang ingin membeli jagung harus menyetujui harga yang ditetapkan sang Tuan Tanah. Nah, bila kita memiliki gunung minyak di bawah tanah negeri ini dari Sabang sampai Merauke, maka kenapa harga minyak kita harus ditentukan oleh negeri kecil di luar sana yang justru tidak memiliki minyak?
Kembali lagi, inilah letak kekuasaan pasar derivatif. Saya lebih senang menyebutnya pasar riba, karena sebagian besar orang masih belum memehami bagaimana pasar ini bekerja dan masih terjebak dalam perdebatan tak berakhir bahwa derivatif masih dapat diterima dalam sistem ekonomi saat ini. Benar, itu bisa diterima karena sistemnya sama bobroknya. Mari kita lihat sejenak contoh kasus di bawah ini,
Pada puncak musim dingin dan musim panas, itu berarti sekitar awal tahun dan pertengahan tahun, biasanya kalo di papan bursa terhitung bulan Januari atau Juli-Agustus harga minyak dunia akan mengalami kenaikan. Karena pada musim itu tingkat pemakaian energi oleh negara-negara utara cukup besar. Lalu mengapa tingkat pemakaian energi negara-negara selatan tidak diperhitungkan? Apakah karena utara lebih maju daripada selatan? Apakah karena utara adalah representasi Amerika Serikat beserta negara-negara Uni Eropa yang memiliki daya tawar ekonomi serta kekuatan politik yang lebih dominan? Wallahua’lam.
Setahu saya, ketika jatah pemakaian energi pada puncak musim dingin dan musim panas meningkat maka harga
minyak secara otomatis akan merangkak naik. Semua pemain saham atau komoditas di pasar derivatif tahu bahwa membeli minyak di bursa pada bulan-bulan tersebut akan memberikan keuntungan. Bila mereka membeli dua tiga bulan sebelum harga minyak naik dengan harga yang berlaku pada saat itu misalnya US0.5/liter kemudian menjualnya pada peak season dengan harga US1/liter maka seorang pialang akan mendapatkan profit 0.5/liter dikali sekian banyak minyak yang dibeli di pasar tersebut. Persoalannya ada masa 2-3 bulan di mana ia menyimpan minyak yang sudah dibeli sebelum dijual ketika harga tersebut naik. Itu berarti sang pialang komoditas ini menimbun sekian barel minyak di suatu tempat di luar sana. Kita tidak pernah tahu fisik minyak tersebut di mana, karena ia membeli dari bursa komoditas dan hanya menggunakan “kertas” sebagai alat tukar. Konsep ini disebut ‘buying goods from thin air’. Istilah thin air atau celah kosong juga dikenal dalam kamus keuangan, digunakan dalam mekanisme ketika uang dicetak tanpa menggunakan standar nilai tukar yang tersedia.
Ketika Sang pialang menyimpan minyak di suatu tempat di luar sana lalu menunggu harga minyak naik sebelum menjualnya kembali maka dalam bahasa sederhana ia bisa disebut menimbun minyak. Untuk kasus yang sama di Indonesia misalnya, bila menjelang bulan ramadhan atau idul fitri di mana seperti siklus ekonomi yang sudah lazim bahwa harga-harga komoditi akan meningkat naik, seseorang yang menimbun minyak atau beras atau daging, atau komoditi lainnya akan dikenai tuduhan menimbun barang dan ditangkap polisi kemudian diperkarakan. Lalu mengapa orang-orang yang bermain di pasar derivatif tidak dikenai tuduhan yang sama? Toh mereka juga menimbun komoditi-nya. Bila pedagang-pedagang kecil ini menimbun minyak maka efeknya mungkin hanyalah kelangkaan minyak yang bersifat sementara. Namun bila Sang Pialang bersama kawan-kawannya menimbun minyak melalui pasar komoditas maka dampaknya adalah perubahan harga minyak yang akan membuat Presiden SBY dan semua pemerintah negara yang bergantung pada komoditi ini harus menghitung ulang tingkat inflasi dan menyesuaikannya dengan APBN negara. Anda bisa lihat bedanya? Tanpa bermaksud mendukung upaya penimbunan minyak oleh pedagang-pedagang kecil, saya hanya mempertanyakan konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengapa para pemain saham dan komoditas yang menimbun produk-nya tidak pernah disidak dan ditindak?
Inilah kekuatan pasar derivatif, seperti yang digambarkan dalam film Wallstreet 2, Gordon Gecko menyatakan Greed is Good (Keserakahan itu baik) atau (Speculation is the mother of all evil) Spekulasi adalah ibu dari segala keserakahan.
Bila demikian harga minyak di Indonesia tidak akan pernah bisa ditentukan oleh para petani sawit atau penambang yang bekerja siang malam di dalam gorong-gorong kerak bumi, mereka yang berpenghasilan kurang dari sejuta sebulan. Merekalah yang membawa minyak ini ke pasar sementara pasar akan mengikuti standar internasional yang nota bene harganya ditentukan oleh orang-orang yang bermain di bursa saham. Karena inilah gerakan Occupy Wallstreet yang kemudian diikuti oleh puluhan kota besar lain di Amerika Serikat mengutuk pemain-pemain besar di wallstreet yang menggunakan cara-cara curang untuk menguasai komoditi dan saham di seluruh dunia.
Kembali pada isu awal, bahwa harga premium bersubsidi akan dibatasi hanya pada kendaraan berplat kuning dan motor seperti yang dijelaskan oleh pak Hatta Rajasa, demi mereduksi APBN dan mengurangi inflasi maka kebijakan tersebut sungguh harus disambut baik. Selayaknyalah orang-orang yang lebih mampu dalam hal finansial membeli bahan bakar non subsidi agar prinsip-prinsip keadilan sosial di negeri ini berjalan dengan baik. Sayangnya, saya hanya berandai-andai, jika saja negara kita tercinta bisa keluar dari sistem kapitalisme dan liberalisme ini, dan tidak lagi bergantung pada pasar derivatif yang hanya dikuasai oleh segelintir orang maka kita akan menentukan harga minyak kita sendiri tanpa perlu didikte oleh orang-orang di luar sana. Dengan demikian kita akan menjadi bangsa yang mandiri, bangsa
yang kuat dan bahkan menjadi penentu harga minyak dunia. Bila hal ini terjadi, kita tidak perlu lagi ribut-ribut dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi karena minyak yang menjadi aset bangsa ini adalah milik rakyat Indonesia dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sesuai aturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah, pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945.
Minyak kita bukan lagi milik Exxon, Chevron, Shell, Rio Tinto dan teman-teman seperjuangan mereka yang kemudian dengan seenak udel mengambil keuntungan dari pasar derivatif sehingga membuat pemerintah kalang kabut menyesuaikan APBN-nya setiap tahun dengan harga minyak yang naik turun seperti tali bungee jumping. Dan ujung-ujungnya rakyatlah yang harus merasakan penderitaan dan menerima ampasnya.
Pertanyaan saya sederhana, bila dilakukan pembatasan BBM bersubsidi adakah jaminan pemerintah harga BBM tersebut tidak akan naik lagi? Melihat kemungkinan tingginya tingkat inflasi di Eropa saat ini, semakin melemahnya dollar dan rasio hutang Amerika yang begitu besar serta kerusuhan di Timur Tengah tempat seluruh ‘pemain minyak’ mengeksplorasi komoditinya, maka tidak seorang pun bisa menggaransi harga minyak akan stabil, apalagi bila sang minyak ini dipermainkan di pasar derivatif. Ujung-ujungnya, bukan duit, tapi sistem. Mari kembali pada sistem yang benar. Seperti apa sistem yang benar? Yang jelas bukan democrazy.
Oleh: Zaynur Ridhwan
Penulis Novel Novus Ordo Seclorum
(md/arrahmah.com)