JAKARTA (Arrahmah.com) – Pembantaian ratusan Muslim Rohingya secara brutal dan penagkapan, ribuan rumah dibakar hingga menjadi puing-puing memaksa penduduk kehilangan tempat tinggal, puluhan wanita diperkosa dan harta benda dijarah oleh pasukan pemerintah Myanmar yang brutal saat menyerbu desa-desa Maungdaw masih terus terjadi. Padahal sampai detik ini pemerintah Myanmar mengaku telah mengusung demokrasi, dengan tokoh peraih Nobel Perdamaian Aung San Syu Kyi sebagai ikon. Atas hal ini pemerintah Indonesia didesak menghentikan hubungan diplomatik dengan negara pembantai umat Islam itu.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan pada faktanya, Myanmar telah menjadi negara yang niradab melalui pembiaran bahkan diduga dengan sengaja melakukan pembantaian terhadap etnis Rohingya. Indonesia sebagai negara yang mengusung rasa kemanusian yang adil dan beradab, serta mengedepankan hak asasi manusia (HAM) dinilai perlu bersikap terang dan tegas terhadap Pemerintah Myanmar.
“Saya mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut hubungan diplomatik dengan Myanmar dan meminta Duta Besar Myanmar meninggalkan Indonesia segera,” ujar Dahnil, Sabtu (19/11/2016), lansir Republika.
Dia menyebut apa yang dilakukan Pemerintah Myanmar tidak mencerminkan negara beradab dan bertentangan dengan prinsip dasar Indonesia yakni Pancasila. Menurut Dahnil, pengusiran Duta Besar Myanmar penting dilakukan untuk menyampaikan pesan kepada dunia sikap tegas Indonesia terhadap negara yang mengabaikan HAM dan niradab dengan melakukan pembantaian etnis.
Diketahui, kekerasan di Meikhtila memicu kekerasan anti Muslim di seluruh Burma atau Myanmar tengah, menyebabkan tersebarnya penghancuran rumah-rumah, masjid-masjid dan toko-toko. Sejak tahun 2012, dunia telah menyaksikan orang-orang Rakhine mengobarkan api kebencian untuk mengusir Muslim Rohingya dari tempat mereka.
Sekarang kita menyaksikan kaum radikal beraksi sekali kembali. Blokade-blokade sedang diperkuat agar Muslim Rohingya tetap berada di desa-desa mereka dan di kamp-kamp konsentrasi. Kehadiran polisi sedang dibangun dengan kuat melebihi kekuatan aslinya. Kehadiran militer ada di mana-mana sebagai tentara Thein Sein yang bersiap untuk mendukung kaum Rakhine dalam rencana pembantaian mereka yang sudah tergambar di ufuk.
Di Maungdaw, Negara bagian Arakan, Nasaka (polisi perbatasan) menyerukan agar semua warga Rohingya menghadiri kuliah umum terkait aturan baru yang akan mereka berlakukan secara paksa.
Dalam pertemuan dengan para pemimpin desa dan tokoh masyarakat Rohingya ini, Nasaka memberi tuntutan yang lebih keras dibanding sebelumnya. Sekarang, Muslim Rohingya dilarang keluar rumah dari jam 10 malam sampai jam 6 pagi. Muslim Rohingya tidak diizinkan keluar tapal batas desa-desa mereka. Para petani harus meminta izin untuk meninggalkan desa ketika mereka pergi ke sawah. Mengunjungi anggota keluarga harus didokumentasikan dan dilaporkan ke penjaga Nasaka. Dan siapapun yang tertangkap melanggar peraturan tersebut akan diambil untuk di hukum pada kantor Garda Nasaka .
Yang lebih penting lagi, setiap rumah yang hancur yang tidak diberikan izin oleh Nasaka juga akan dihukum secara ekstrem oleh militer atau polisi. Penting diingat bahwa Nasaka tidak peduli bagaimana rumah tersebut hancur. Mereka hanya mencari alasan untuk digunakan saat menyerang Muslim Rohingya dan memasukkan mereka ke penjara-penjara dan rumah-rumah penyiksaan. Tidak peduli apakah rumah tersebut dihancurkan oleh Rakhine atau tidak, Muslim Rohingya-lah yang harus membayar ganti ruginya.
Penting diingat juga bahwa kehadiran polisi dan tentara baru di daerah tersebut bukanlah untuk melindungi Muslim Rohingya melainkan untuk membela orang Rakhine. Karena undang-undang baru tersebut tidak berlaku untuk orang Rakhine. Maksud mereka hanya supaya Muslim Rohingya tetap berada di satu tempat di mana mereka akan mudah diserang dan dibunuh ketika orang Rakhine bergerak. Hal ini merupakan langkah terencana untuk menyiapkan daerah Maungdaw sebagai gelombang pembersihan etnis selanjutnya.
(azm/arrahmah.com)