Sepuluh Muslim Myanmar dibunuh oleh Etnis Arakan di Myanmar Utara pada Ahad (3/6/2012). Kesepuluh Muslim Myanmar tersebut dibunuh secara brutal dan tidak manusiawi. Mereka tengah melakukan perjalanan untuk kembali ke Yangon dari negara bagian Arakan ketika tiba-tiba di sebuah kota kecil bernama Taung-Kout, bus yang mereka tumpangi dihentikan secara paksa oleh ratusan orang dari etnis lokal Arakan yang juga dikenal sebagai Rakhine.
Penumpang Muslim diseret dari bus dan dipukuli hingga meninggal dunia. Para penyerang brutal itu juga menyerang pengendara bus yang juga seorang Muslim.
“Di pusat pemeriksaan imigrasi, kendaraan itu dihentikan. Sebanyak 300 massa yang mengendarai sepeda motor sambil membawa tongkat dan pisau memblokir jalan dan berteriak, ‘Turun dan hadapi akhir hidup kalian jika ada Kalas (istilah untuk menghina yang digunakan oleh umat Buddha terhadap Muslim Myanmar)’. Seorang pria yang bertanggung jawab turun dari bus dan mencoba membujuk mereka, sementara pintu bus ditutup. Namun dia malah didorong dengan keras oleh massa yang kemudian masuk ke bus. Ketika mereka menemukan beberapa Muslim [di dalam bus], mereka berteriak ‘Di sini ada Kalas, mereka di sini’ dan mulai memukuli korban dengan tongkat. Kemudian mereka menyeret korban dan membunuhnya dalam waktu yang sangat singkat,'” saksi mengungkapkan dengan jelas saat dihubungi melalui telepon.
Serangan ini memiliki latar belakang sejarah yang relatif panjang yang semata-mata berkaitan dengan Etnis Rakhine, yang mayoritasnya beragama Buddha, yang telah meluncurkan kampanye rasis sangat aneh terhadap Muslim Rohingya yang mereka tuduh sebagai imigran ‘ilegal’ atau Bengali.
Kampanye intensif terhadap Muslim Myanmar ini dimulai pada November tahun 2011 lalu di media-media sosial seperti Facebook. Ribuan umat Buddha (baik Rakhine maupun non-Rakhine) telah menyebarkan kebencian dengan bahasa yang sangat menghujat. Meskipun target mereka seakan “hanya” etnis Rohingya, mereka akhirnya menyerang langsung seluruh Muslim Myanmar dan norma-norma Islam.
Peserta dalam kampanye itu tidak hanya penduduk setempat Myanmar tetapi juga para aktivis pro-demokrasi dan aktivis hak asasi manusia yang berada di bawah suaka di AS, Kanada, Eropa, Australia dan Thailand.
Seolah ada ketidaktahuan pemerintah mengenai kondisi rentan ini, politisi Etnis Rakhine secara terbuka dan keras malah turut menentang Etnis Rohingya. Oleh karena itu, diketahui bahwa para patriot Buddha secara buta meyakini kepercayaan untuk menyebar dan meneruskan informasi kebencian.
Hampir setiap hari dalam beberapa bulan terakhir, jutaan pesan kebencian menyebar di Facebook dan jejaring sosial. Redistribusi [pesan kebencian terhadap Muslim Myanmar] juga dilakukan oleh setiap umat Buddha di sana.
Minoritas Muslim Myanmar juga telah berusaha untuk menghentikan kampanye kebencian dengan mendekati lalu-lintas media Myanmar. Tapi mereka benar-benar dan sengaja mengabaikan teriakan minta tolong dari Umat Muslim Myanmar. Misalnya, adanya kenyataan bahwa media terkemuka di sana benar-benar diam seribu bahasa perihal penghancurkan dua masjid dan tindakan teror yang menyerang rumah Muslim di Myanmar Utara dan Tengah pada bulan April tahun ini.
Kampanye itu berkembang dan pesan kebencian terus menyebar. Para anti Islam mulai berbicara untuk memberantas semua Muslim. Beberapa bahkan sampai menyalahkan diktator Than Shwe karena tidak membunuh semua umat Islam di negara itu seperti apa yang dilakukan Nazi.
Sementara itu, satu peristiwa yang dihembus-hembuskan sebagai penyulut tindakan dan tuduhan keji mereka terhadap para penumpang bus di atas adalah tindakan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang wanita berusia 26 tahun oleh tiga penjahat lokal -yang mereka klaim Muslim- pada 29 Mei – empat hari sebelum serangan itu.
Mengetahui bahwa sentimen Anti-Muslim (bukan hanya Anti-Rohingya) berkembang, kantor berita Etnis Arakan yang disebut Narinjara malah meniup peluit dengan profil rasial. Yaitu terkait dengan penjahat beragama Islam, yang jelas mendorong kemarahan masyarakat setempat.
The Irrawaddy, salah satu media oposisi yang paling terkenal, memberitakan dengan cara yang sama. Serangan pun pecah, beberapa pegiat memposting di Facebook iming-iming tawaran uang sebesar $ 300 US untuk mereka yang bisa melecehkan perempuan-perempuan Muslim, dan $ 500 US bagi mereka yang bisa membunuh.
Mengomentari serangan terhadap Muslim Myanmar, Radio Australia menyatakan bahwa dua orang lokal mengatakan serangan itu ditujukan untuk mencari pelaku pemerkosaan 29 Mei. Akan tetapi hal ini terbukti tidak akurat karena ketiga terdakwa dilaporkan telah ditangkap menurut media kredibel mereka sendiri.
Etnis Arakan telah mengancam umat Islam di bagian lain negara itu dengan serangan-serangan serupa. Sementara sebagian warga negara Myamar sendiri khawatir bahwa pemerintah mereka yang menghadapi kebuntuan politik karena berbagai protes (buruh, petani, listrik), mengalihkan perhatian politik dengan menciptakan kerusuhan agama.
(banan/arrahmah.com)