Oleh Ummu Syafiq
Guru Madrasah
Metropolitan adalah suatu istilah untuk menggambarkan suatu kawasan perkotaan yang relatif besar, baik dari ukuran luas wilayah, jumlah penduduk, maupun skala aktivitas ekonomi dan sosial.
Gambaran seperti inilah yang rencananya akan dibangun di wilayah Kabupaten Bandung. Di kawasan tersebut ada lima wilayah yang akan dipoles menjadi area metropolitan. Proyek ini akan masuk ke dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Pemkab Bandung, bekerjasama dengan konsultan dari Prancis. Lima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Soreang, Katapang, Kutawaringin, Margahayu dan Margaasih.
Menurut Sekertaris Daerah Kabupaten Bandung Cakra Amiyana, rencana untuk menjadikannya sebagai kawasan perkotaan telah disetujui oleh Kementerian ATR/BPN. Sekertaris daerah Kabupaten Bandung mengatakan bahwa kelima kawasan tersebut digabung untuk integrasi, dan diprediksi bahwa ke depannya kawasan Soreang akan tumbuh menjadi aglomerasi di dalam metropolitan Bandung. (Prmnews.id 6/1/2023)
Pembangunan Metropolitan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian Kabupaten Bandung agar masyarakatnya sejahtera, hal itu selaras dengan instruksi Presiden Joko Widodo tentang percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. Meski sejatinya kesejahteraan harusnya dapat dirasakan oleh semua kalangan, baik yang tinggal di perkotaan atau daerah, akan tetapi faktanya hingga saat ini masih terlihat jelas perbedaan di antara keduanya, khususnya dalam hal pendapatan juga pembangunan seperti: jalan, sekolah, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya.
Penting kita kritisi jika pembangunan metropolitan mengandalkan para investor terlebih asing, benarkah akan meningkatkan perekonomian, sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat? Seperti yang kita ketahui pemilik modal senantiasa mencari peluang untuk menguasai lahan dan aset negeri ini. Para pengusaha oligarki lah yang akhirnya mendapat keuntungan besar dari upayanya mencengkeram berbagai wilayah yang dikuasainya. Banyaknya investasi nyatanya tak seiring dengan kesejahteraan yang hendak diraih. Pengangguran makin tinggi, harga-harga melambung, biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya hidup lainnya semakin menyulitkan masyarakat. Dan tak kalah berbahaya dari banyaknya investasi, utang negara kian menggunung. Bagaimana rakyat bisa sejahtera kalau pengurusan negara makin minim karena beban utang.
Inilah yang terjadi ketika pembangunan metropolitan di bawah pengaturan sistem kapitalisme sekuler. Keuntungan bagi para kapital, rakyat kian terpental. Membiarkan campur tangan asing atau para investor hingga ke pelosok desa. Negara tidak berkemampuan membangun negaranya secara mandiri walaupun kekayaan sangat melimpah. Jika saja pemerintah bisa mengelolanya dengan baik pasti dan sesuai syariat, kesejahteraan seluruh rakyatnya akan terjamin, tanpa mengandalkan pihak lain.
Berbeda dengan Islam, pembangunan dianggap sebagai bentuk pelayanan negara kepada masyarakat. Adalah kewajiban negara untuk memberikan kesejahteraan kepada semua rakyatnya tanpa terkecuali. Karena penguasa kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dibebankan kepadanya. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam atau kepala negara adalah laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem ekonomi Islam, pembangunan sarana publik harus dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum. Seperti: Ghanimah, yaitu harta rampasan perang yang didapatkan oleh umat Islam saat memenangkan sebuah pertempuran. Jizyah, merupakan pajak yang dikenakan untuk non muslim yang hidup di dalam naungan negara Islam. Kharaj, adalah pajak tanah yang dikenakan kepada non muslim yang berhasil ditaklukan. Dan ‘Usyur, yaiu pajak perdagangan (bea cukai) yang dikenakan kepada barang impor dari luar negara Islam.
Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya, pun jika ada pungutan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Ini termasuk juga membangun sarana atau infrastruktur lainnya yang menjadi kewajiban negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka.
Islam tidak membolehkan pembangunan kota bergantung kepada pihak swasta terlebih asing. Karena hal itu difahami sebagai memberi kesempatan kepada asing untuk menguasai yang akan menganggu kedaulatan sebuah negara. Apalagi pinjaman asing secara pasti berbasis riba yang diharamkan. Sejarah Islam mencatat ternyata rakyat bisa sejahtera tanpa bantuan asing, tetapi pengelolaan sumber daya alam dikelola sesuai syariat, dan menerapkan sistem kehidupan lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan yang lainnya hanya berbasiskan akidah Islam saja.
Sudah seharusnya umat kembali pada sistem paripurna yang bersumber dari Allah Swt. Dengan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan di setiap aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab