Oleh : Asy Syifa Ummu Sidiq
(Arrahmah.com) – Transportasi merupakan salah satu kebutuhan vital masyarakat. Sarana transportasi yang memadai dapat memperlancar perjalanan, pekerjaan, hingga perindustrian. Maka, sangatlah penting membangun sarana transportasi yang memadai. Namun, bagaimana jadinya jika pembangunan transportasi berbasis utang? Ujungnya justru membuat sarana tersebut dilelang?
Dikabarkan dalam laman cnbcindonesia.com (16/11/20) diberitakan ada sembilan ruas jalan tol yang akan dilelang. Panjangnya sekitar 350 km, dengan investasi total Rp142,51 triliun. Kesembilan jalan tol tersebut terdiri dari ruas Kamal-Teluk-Naga-Rajeg (39,20 km) senilai Rp18,51 triliun, Akses Patimban (37,7 km) senilai Rp6,36 triliun, ruas Bogor-Serpong via Parung (31,17 km) senilai Rp8,95 triliun, dan ruas Sentul Selatan-Karawang Barat (61,50 km) senilai Rp15,20 triliun.
Selain itu, ada juga ruas Semanan-Balaraja (32,39 km) senilai Rp15,53 triliun, Harbour Toll Road Semarang (21,03 km) senilai Rp12,05 triliun, ruas Cikunir-Karawaci (40 km) senilai Rp26,15 triliun, ruas Tol Cikunir-Ulujami (21,50 km) senilai Rp20,05 triliun, dan ruas Gilimanuk-Mengwi (95,51 km) senilai Rp 19,71 triliun.
Kenyataannya saat ini sudah ada beberapa ruas jalan tol yang dijual. Ada ruas Jalan Tol Solo-Yogyakarta-NYIA (Kulonprogo) (93,25 km) senilai Rp28,58 triliun dan ruas Yogyakarta-Bawen (75,82 km) senilai Rp14,2 triliun. Ruas Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap sepanjang 206,65 km, dengan nilai investasi Rp57,59 triliun sedang dalam proses pelelangan (viva.co.id, 15/11/20).
Jika ruas jalan tol yang telah jadi tersebut dilelang, maka pengelolaan tol telah jatuh pada pihak swasta. Alhasil negara tak memiliki hak mengatur operasional dan harga masuk tol. Pihak swasta yang akan menentukan tarif tol. Mereka tidak akan memikirkan apakah masyarakat mampu membayar tarif itu atau tidak. Mereka hanya beroperasi berdasar kepentingan, mencari keuntungan semata.
Jika hal demikian yang terjadi, mengapa negara rela melelang jalan tol ke pihak swasta? Bukankah tugas negara adalah mengurusi kebutuhan rakyat? Salah satunya menjamin pelayanan tranportasi yang lancar, mudah dan aman.
Negara dalam Jeratan Utang
Selama ini, pembangunan infrastruktur ternyata bukan berasal dari APBN. Tapi lebih besar berasal dari utang luar negeri. Maklum saja, APBN negeri ini setiap tahun selalu defisit. Karena hanya mengandalkan pendapatan dari pajak. Jika negara kekurangan biaya, jalan satu-satunya yang ditempuh melalui utang.
Dalam kurun waktu 2019-2024 ini negara merencanakan menarik utang dari pinjaman luar negeri sebesar US$25,36 miliar atau setara Rp360,25 triliun (kurs Rp14.200 per dolar AS) dalam kurun waktu 2020-2024. Utang tersebut dipakai untuk membiayai pembangunan infrastruktur di dalam negeri. Hal ini tertuang pada Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024 yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas di situs resmi (cnnindonesia.con, 13/11/20).
Orang jawa bilang “urip iku kudu nrimo”. Artinya yang namanya hidup harusnya menerima kondisi. Jika memang keuangan belum stabil, jangan membangun dulu. Mengumpulkan uang, konsentrasi pada bagaimana meningkatkan pendapatan. Bukan malah mencari solusi instan seperti utang.
Hanya saja slogan jawa ini bisa jadi tak dapat diterapkan bagi negeri ini. Pasalnya negeri ini telah terikat dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
RPJM 2020-2024 adalah bagian dari tahapan penting dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 karena akan mempengaruhi pencapaian target pembangunan dalam RPJPN.
RPJMN 2020-2024 juga telah mengikuti grand desain Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, dimana ada 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur melalui jalan tol. Jadi proyek jalan tol ini mau tidak mau harus dilaksanakan (bappenas.go.id, 17/04/20).
Kebutuhan inilah yang membuat pemerintah harus memenuhi target yang sudah ditetapkan. Karena standart keberhasilan pemerintahan terletak pada seberapa sukses melaksanakan program-programnya. Sehingga, bagi negara berprinsip ekonomi kapitalis akan melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Meskipun Islam mengharamkan pinjaman riba, bagi pemerintah tetap akan diambil. Semua itu demi penilaian keberhasilan dalam kepemimpinan.
Utang Bagian dari Agenda Musuh
ULN yang menjerat negeri ini berbasis
ribawi. Jeratan utang merupakan salah satu cara yang ditempuh asing/aseng (kafir) untuk menguasai suatu negara. Mereka pun telah memikirkan cara licik agar negara-negara yang terjerat utang takluk dihadapannya.
Dengan bunga riba yang cukup besar, membuat negara pengutang kalang kabut membayarnya. Seperti yang terjadi di negeri ini. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 beban bunga utang Indonesia bengkak Rp373,3 triliun. Dengan rincian pembayaran utang dalam negeri sebesar Rp355,1 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp18,15 triliun (cnnindonesia.com, 14/08/20).
APBN tiap tahun hanya mampu membayar bunga utang saja. Belum pokok utangnya. Padahal tiap dekade perintah berani berutang demi menutup kekurangan anggaran. Pada saat ini saja Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal III-2020 sebesar US$408,5 miliar. Utang ini terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan bank sentral) sebesar US$200,2 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$208,4 miliar (viva.co.id, 16/11/20).
Dengan demikian siasat pemberian utang bagi negara berkembang akan mampu melemahkan keuangan negara. Negara peminjam akan mengalami kesulitan dalam mengembalikan utang. Bahkan untuk memenuhi kewajiban sebagai pengurus kebutuhan rakyat pun tersengal-sengal. Kondisi ini dimanfaatkan oleh asing/aseng untuk menguasai kekayaan negara tersebut.
Ketika negara pengutang tak mampu lagi membayar utang. Jalan satu-satunya adalah menjual kekayaan. Kekayaan ini dapat berupa infrastruktur atau Sumber Daya Alam (SDA). Dengan begitu lelang jalan tol yang dilakukan selama ini untuk menutup utang atau mendapatkan investasi dari luar. Agar negara mampu membayar utang atau mendapat pembiayaan untuk membangun infrastruktur yang baru.
Strategi jebakan asing/aseng ini telah tertuang dalam buku fenomenal karya John Perkins, Ia adalah agen CIA yang ditugaskan di banyak negara untuk melakukan jebakan utang.
“Utang Luar Negeri pun akan memastikan anak-anak hari ini dan cucu mereka di masa depan menjadi sandera. (dengan utang -ed) Mereka harus membiarkan korporasi kami menjarah sumber daya alam mereka, dan harus mengorbankan pendidikan, jaminan sosial hanya untuk membayar kami kembali.” (Perkins, J. 2016. The New Confessions of an Economic Hit Man. Berrett-Koehler Publishers).
Islam Menyelamatkan Negara dari Jebakan Utang
Islam menjadikan iman dan takwa merasuk dalam setiap relung penganutnya. Sehingga orang yang beriman dan bertakwa akan berusaha sebaik mungkin mengikuti aturan Rabbnya. Jika Islam mengharamkan pinjaman berbasis riba, maka sebagai seorang mukmin akan menjawab “sami’na wa atho’na” yang artinya “kami mendengar dan kami taat”.
Sebagaimana tertulis dalam firman Allah SWT, “Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah dengan mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan hanya merekalah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An Nuur [24]: 51)
Hal ini berlaku bagi seluruh kaum muslimin. Baik para pemimpin maupun yang dipimpin. Bagi seorang pemimpin yang beriman, kewajiban baginya untuk mengikuti segala hukum syara yang ada. Termasuk masalah pinjam meminjam. Apalagi seorang pemimpin juga akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Dalam Islam sendiri memiliki rule map bagaimana cara merealisasi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sistem pemerintahan Islam yang meletakkan segala keputusan di tangan hukum syara’ menjadikan negara Islam tak akan mudah terjerat utang.
Prinsip keharaman riba dipakai sebagai dasar transaksi negara. Sehingga negara tak akan mengambil utang berbasis riba. Pembiayaan infrastruktur memang membutuhkan banyak uang. Namun, negara tak akan kebingungan dalam mendapatkannya. Pasalnya, negara yang memakai sistem Islam akan mendapatkan pembiayaan dari Baitul Mal.
Pendapatan yang diperoleh dari pos kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj dam fai, serta kepemilikan umum dari pengelolaan SDA akan masuk dalam Baitul Mal. Baitul Mal inilah yang akan mengeluarkan seluruh pembiayaan negara. Baik pembiayaan administrasi, gaji pegawai, zakat, hingga pembangunan infrastruktur yang mendukung pemenuhan kebutuhan rakyat.
Sehingga negara tak lagi perlu berutang pada pihak asing. Negara pun akan terjaga kehormatannya serta seluruh kekayaannya. Negara seperti ini adalah negara yang berdaulat. Negara yang menjadikan Islam sebagai dasarnya. Sebagaimana yang telah dicontohkan para sahabat dan penerusnya dalam sebuah sistem pemerintahan Islam, yaitu khilafah rasyidah. Wallahu’alam bishowab.
(*/arrahmah.com)