Pembagian Jenis Syahid
Sesungguhnya segala puji adalah kepunyaan Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon perlindungan-Nya dari keburukan diri-diri kami, dari kejelekan amal-amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri dia hidayah, maka tiada siapapun yang mampu menyesatkannya.Barangsiapa yang Allah telah sesatkan dia, maka tiada siapapun yang mampu memberinya hidayah. Dan aku bersaksi bahwa tiada Ilah (Tuhan) selain Allah Dia Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Definisi:
Diantara beberapa definisi syahid terdapat seperti berikut:
“Syahid ialah orang yang meninggal, tetapi jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disholatkan: Ini disebabkan karena terbunuh ketika memerangi kafir, baik terbunuh oleh kafir, atau terkena senjata nyasar kaum muslimin, atau bahkan terkena senjatanya sendiri, atau terjatuh dari kendaraannya, atau disengat binatang berbisa lalu mati, atau tergilas kendaraan perang kaum Muslimin atau selainnya, atau terkena senjata nyasar yang tidak diketahui apakah itu senjata Muslim atau senjata kafir, atau orang yang didapati terbunuh seusai peperangan dan tidak diketahui sebab kematiannya, baik pada tubuhnya terdapat darah atau tidak, baik kematiannya saat itu atau setelah itu, kemudian meninggal dengan sebab-sebab tersebut sebelum pertempuran usai ” (Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/261). Adapun pengertian syahid secara umum, orang yang disebut sebagai syahid ialah mereka yang hilang nyawanya demi meninggikan (memperjuangkan) kalimat Allah[1].
Mengapa dikatakan syahid?
Ulama berbeda mengenai ini.
Diantara mereka ada yang mengatakan dikatakan syahid karena dia disaksikan/diperlihatkan kepadanya jannah (syurga). Dikatakan juga bahwa sebab dinamakan syahid ialah ruh-ruh mereka menyaksikan jannah, dan berada di Daarus Salaam (Jannah,syurga) dan mereka hidup disisi Rabb (Tuhan) mereka.
Jadi makna syahid (assyahiid) adalah Syaahid (Asy-Syaahid), yaitu berarti saksi, dan juga hadir (berada) di jannah. Imam Al-Qurthubi berkata: “Inilah pendapat yang benar” [2].
Diantara pengertian ‘syahid’ yang lebih kuat menurut Abu Ibrahim Al-Mishri ialah:
“Karena dia memiliki saksi (syahid) atas kematiannya. Saksi itu adalah darahnya sendiri, karena di hari kiamat nanti ia akan dibangkitkan oleh Allah dengan lukanya yang mengalirkan darah” (Lihat Al-Majmu’ An-Nawawi 1/277). Tetapi ia juga menyebutkan bahwa adakalanya orang yang syahid lukanya tak memancarkan darah. Wallahu A’lam. [3]
Jenis-jenis Syahid:
Pembagian ini menentukan aplikasi hukum dunia terhadap orang yang meninggal, yaitu memberlakukan hukum secara zhahir terhadap orang yang dikategorikan syahid atau tidak.
Dalam Shahih Bukhari disebutkan:
“Menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, menceritakan kepada kami Malik dari Sumyyin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a : bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: Syuhada itu ada lima,yaitu Orang yang mati terkena cacar, orang yang mati karena diare, orang yang mati tenggelam, orang yang mati tertimpa runtuhan (longsor), dan orang yang syahid di jalan Allah” (Al-Bukhari, Kitab As-Sayru Wal-Maghazi: 2617)
Sedangkan dalam Shahih Muslim disebutkan pula:
“Dari Abu Hurairah r.a, katanya, Rasulullah s.a.w bersabda: Apa yang kalian ketahui tentang syahid?” Sahabat r.a menjawab: Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia syahid” Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: “Kalau begitu syahid di kalangan ummat ku sedikit”, Sahabat r.a berkata lagi, kalau begitu siapakah mereka ya Rasulullah ? Rasulullah s.a.w bersabda: Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia syahid, barang siapa yang mati di jalan Allah, maka dia syahid, barangsiapa yang mati karena cacar maka dia syahid, siapa yang mati terkena diare dia syahid ” (Shahih Muslim, Kitaabul Imaarah:3539)
Dua hadits diatas menerangkan syahid secara umum dan secara khusus. Imam Nawawi dalam syarah hadits Muslim diatas menyebutkan:
Para ulama berkata : “Yang dimaksudkan syahid diatas adalah selain syahid Fie sabilillah (terbunuh ketika berperang di jalan Allah), mereka itu di akhirat memperoleh pahala para syuhada. Adapun di dunia, mereka dimandikan dan dishalatkan.Dalam kitab Al-Iman telah dijelaskan masalah ini. Adapun syuhada, terbagi kedalam Tiga jenis: Syahid dunia dan akhirat, yaitu yang terbunuh ketika berperang melawan kafir, dan syahid akhirat , hukum dunia terhadapnya tidak diperlakukan sebagaimana layaknya orang yang terbunuh di jalan Alah, mereka inilah yang dimaksudkan syahid (secara umum) dalam hadits ini, dan syahid dunia, yaitu orang yang berperang karena mencari ghanimah dan berpaling dari peperangan.
1.Syahid Dunia Akhirat
Yang dimaksud syahid dunia akhirat adalah orang yang terbunuh ketika berperang di jalan Allah dengan niat yang ikhlas, tidak ada unsure riya, tidak juga berbuat ghulul (mencuri harta rampasan perang). Jenis inilah yang merupakan syahid yang sempurna dan syahid yang paling utama, baginya pahala dari sisi Allah Yang Maha Agung. Soal niat ikhlas atau tidaknya, hanya dia yang bersangkutan dan Allah yang tahu. Manusia hanya menghukumi secara zhahir bahwa dia mati terbunuh di jalan Allah. Sehingga dia layak disebut sebagai syahid. Karenanya jenazahnya tidak perlu dimandikan,tidak perlu dikafankan, tidak perlu disholatkan, ia hanya dikuburkan dengan pakaian lengkap tatkala ia terbunuh syahid.
2.Syahid Dunia
Yaitu orang yang terbunuh ketika dia berperang, tetapi dia tidak ikhlas karena Allah, bukan demi menegakkan kalimat Allah (Islam). Soal niatnya, manusia selain dirinya tidak ada yang tahu. Akan tetapi ketika jasadnya ditemukan terbunuh ketika berperang melawan kafir, maka ia dihukumi sebagai syahid.Untuk syahid jenis pertama dan kedua ini, terdapat beberapa pendapat. Menurut pendapat Al-Ahnaf (Hanafiyah), mereka tidak dimandikan, tidak dikafani tetapi disholatkan. Menurut Hanabilah (pengikut mazhab Hanbali) mereka tidak dimandikan, tidak dikafankan dan tidak disholatkan. Menurut Malikiyah : Mereka tidak dimandikan, tidak dikafankan, tidak juga di sholatkan. Dan, menurut Syafi’iyah, bahwa mereka tidak dimandikan, tidak dimandikan dan tidak pula disholatkan”
3.Syahid akhirat saja
Yaitu orang-orang yang mati karena tenggelam atau terbakar dan semisalnya, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits Nabi. Orang yang termasuk kategori ini dimandikan, dikafani juga disholatkan.[4]
Penyebutan nama Syahid
Mengatakan “si fulan syahid” bukan berarti menghukumi bahwa dia masuk jannah (syurga), akan tetapi dimaksudkan untuk menentukan proses pengurusan jenazah, bagaimana jenazah itu diperlakukan. Jika ternyata memang syahid maka berlakulah ketentuan seperti disebutkan terdahulu.
Karena itu diperbolehkan menyebut si fulan syahid, dan hal ini telah menjadi sesuatu yang biasa (dan diterima) di kalangan Ahlus Sayru Wal-Maghazi (para pelaku Jihad sejak zaman awal) begitu pula ini berlaku di kalangan para penulis kitab dan ilmu rijal (salah satu cabang dalam ilmu hadits), mereka menghukumi bahwa orang-orang saat kematiannya memenuhi sebab-sebab kesyahidan, maka dia disebut sebagai Syahid.[5]
Wallaahu A’lam Bish-Shawab
Al-faqir Wal-Haqir IlaLlaah
Referensi:
Ensiklopedia Sembilan kitab Hadits (Kutubut Tis’ah).
Tahdzib Masyaari’ul Asywaaq Ilaa Mashaa-ri’il UsySyaaq Fi Fadhaa-ilil Jihaad, Syaikh Asy-Syahid Ibnu Nuhas Asy-Syafi’I.
Aljihaadu Sabiiluna, Syaikh Abdul Baqi Ramdhun
Ats-Tsamratul Jiyaad Fii Masaa-ili Fiqhil Jihaad, Abu Ibrahim Al-Mishri
Catatan Kaki:
[1] Ats-Tsamratul Jiyaad Fii Masaa-ili Fiq-hil Jihaad, hal 172.
[2] Tahdzin Masyaari’ul Asywaq Ilaa Mashaa ri’il Usy-Syaaq, hal 259.
[3] Ibid, hal 173.
[4] Aljihaadu Sabiiluna, Abdul Baqi Ramdhun, hal 155-156.
[5] Ats-Tsamratul Jiyaad Fii Masaa-ili Fiqhil Jihaad, hal 176.