Buku ‘Mereka Bukan Thagut’ bisa jadi bukannya meluruskan pemahaman umat Islam, tapi justru malah bisa bikin bengkok. Buku ini berpotensi gagal membangun komunikasi di tengah perbedaan yang kini terjadi di tengah umat Islam. Sang penulis pun mengaku akan merevisi.
Hal ini dinyatakan Abu Rusydan, salah satu pembahas buku ‘Mereka Bukan Thagut’ (MBT) yang diluncurkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Sabtu (17/12) lalu di hotel Grand Sahid, Jakarta.
Suasana pengamanan peluncuran buku ini terbilang cukup ketat. Polisi berseragam lengkap tampak berjaga-jaga di banyak titik di bagian dalam hotel. Mulai di pintu lobi utama, tangga ke lantai II, hingga lobi depan ruang tempat acara peluncuran di lantai II. Di ruangan tempat berlangsungnya acara juga tampak disesaki polisi berpakaian sipil. Beberapa di antara mereka tampak juga menyamar sebagai fotografer profesional. Bahkan di belakang hotel, tampak sejumlah kendaraan taktis Brigade Mobil Polri lapis baja diparkir.
Maklum, sahibul hajat acara ini adalah BNPT. Belum lagi Khairul Ghazali, sang penulis MBT adalah terpidana kasus terorisme, yang terkait pada peristiwa perampokan Bank CIMB Niaga dan penyerangan Polsek Hamparan Perak Medan, September 2010 silam.
Lalu, pembahas dan undangan, ada dari kalangan yang selama ini dikenal sebagai aktivis Islam dari kalangan garis keras. Selain Abu Rusydan, hadir sebagai pembahas buku ini adalah Ja’far Umar Thalib (mantan Panglima Laskar Jihad. Kini pimpinan Ponpes Ihya’ al-Sunnah Yogyakarta), Abdurrahman Ayyub, Prof DR H Mohammad Baharun SH, MA (Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat), di samping sang penulis MBT sendiri, Khairul Ghazali.
Pada 1985, sebagaimana dinyatakan dalam biodata ringkas di dalam buku MBT, Ghazali mengaku pernah menjadi anggota jamaah pengajian Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir di Malaysia. Di ‘negeri jiran’ ini dia bermukim selama sekitar 10 tahun, lalu kemudian kembali ke kampung halamannya di Medan.
Ketika terjadinya peristiwa perampokan Bank CIMB Niaga dan penyerangan Polsek Hamparan Perak Medan, dia dituduh menyembunyikan para pelaku, sehingga divonis 5 tahun penjara.
Berkaitan kasusnya ini, menurut Ghazali, dia sebenarnya sama sekali tidak terlibat. Sekali pun di antara mereka yang terlibat menurutnya adalah murid-muridnya. “Namun saya tidak pernah mengajarkan mereka merampok atau melakukan aksi-aksi kekerasan. Yang mereka lakukan hanya penafsiran mereka atas apa yang saya ajarkan,” jelasnya.
Mengenai sejumlah muridnya yang bertamu, dan kemudian didapati beberapa pucuk senjata api saat digrebek Densus 88, menurut Ghazali, dia sama sekali tidak mengetahui apa yang mereka bawa saat itu. “Tamu saya banyak. Ada yang menginap. Kan tidak mungkin saya menggeledah tas-tas yang mereka bawa. Namun saya dituduh menyembunyikan para pelaku,” belanya.
Berkaitan buku MBT, lanjut Abu Rusydan, sebenarnya ada beberapa pilar yang harus dipenuhi, agar terbangun komunikasi melalui peluncuran buku MBT ini. Yakni beradab, logis argumentatif dan dialektis. Tapi dia menilai buku ini belum mencerminkan hal tersebut. “Masa di buku ini kok tertulis kata-kata kotor (halaman 176 baris ke-21 –red),” cetusnya memisalkan.
Selain itu, lanjut Abu Rusydan, buku ini secara jelas berusaha meng-counter ide-de Abu Sulaiman Aman Abdurrahman (Ust Aman) yang terkenal gampang mencap kafir (takfir), terutama terhadap aparat pemerintah karena tidak menggunakan hukum Islam. Menurutnya, jelas penilaian demikian tidak fair, karena yang bersangkutan tidak dihadirkan di forum bedah buku tersebut.
Sekali pun penilaian itu mungkin menurutnya didasarkan pada tulisan-tulisan beliau, lanjut Abu Rusydan, baik berupa buku, artikel atau pun ceramah, selama ini Ust Aman dia nilai tidak pernah mengkafirkan seseorang secara tertentu (mu’ayyan), yakni terhadap individu tertentu.
“Misalnya Si Fulan ini kafir, atau Si Fulan itu kafir. Beliau men-takfir itu kan secara umum saja. Misalnya pada wilayah sebuah pekerjaan,” jelasnya.
Selain itu, Abu Rusydan juga menilai perlunya ditambah pendapat para ulama tentang pengertian thaghut. Setelah dipaparkan semua, baru kemudian dijelaskan kepada umat Islam, mana pendapat yang kuat (rajih).
NKRI Harga Mati, Picu Kekerasan
Menyangkut penguasa yang beragama Islam, masih menurut Abu Rusydan, bagaimanapun juga dia berkewajiban menegakkan syariat (hukum) Islam. “Masalahnya, dari kalangan nasionalis masih ada ungkapan ‘NKRI harga mati’. Ini kan sama saja upaya menutup dialog hingga memicu kekerasan. Terutama bagi pendukung ‘hukum Islam yang harus harga mati,” ungkapnya.
Pernyataan ini diamini psikolog, Prof Sarlito Wirawan, yang juga anggota BNPT. “Siap salah, Pak Kepala. Tapi ini pernyataan mungkin ada benarnya juga nih,” ujarnya, saat menanggapi Abu Rusydan.
Menurut Sarlito, bagaimanapun juga, negara ini tidak bisa diklaim sebagai sebuah negara yang sudah sempurna. Yang mesti diupayakan adalah agar tidak ada lagi pertumpahan darah. Untuk itu, lanjutnya lagi, dialog dan komunikasi harus terbangun antar sesama warga bangsa. “Kalau terus dialog, lama-lama juga akan ketemu,” yakinnya.
Pembahas lainnya, Ja’far Umar Thalib, mengaku terhenyak dengan penilaian penulis ini yang dia nilai subjektif. Misalnya di halaman 147 di alinea kedua disebutkan, gerakan Wahabi di tanah Hijaz ditunggangi keluarga Sa’ud yang notabene antek Inggris demi menciptakan instabilitas dan separatisme di tubuh Khilafah Islamiyah saat itu.
Saudi, tegasnya, tidak ditunggangi Inggris, tapi bersepakat dengan Syaikh Abdul Wahhab saat itu. Saudi mengendalikan kekuatan militer, dan Abdul Wahhab menegakkan hukum Islam melalui fatwanya. “Saya bertekad dari dulu, kini dan akan datang sebagai pengikut Wahabi,” tegas Ja’far lagi.
Penanggap lainnya, Baharun misalnya, juga sepakat perlunya buku ini direvisi. Yakni dengan menambahkan data yang menjelaskan thaghut dari perspektif sejarah.
Dari pengamatan secara teknis, buku ini juga masih perlu editing. Misalnya, meski di dalamnya penulisan thaghut umumnya menggunakan dua ‘h’, namun sayangnya pada judul cover justru tidak ada ‘h’ kedua, sehingga tertulis thagut. Malah pada surat undangan yang disebarkan, tertulis kata ‘togud‘. Meski mungkin dianggap sepele, kesalahan ini terasa cukup mengganggu dan mencerminkan kekurangcermatan.
Contoh lainnya misalnya pada halaman 148 alinea kedua, kata yang mestinya ditulis istiqamah, namun tertulis ‘istikamah’. Juga penulisan Ibrahim AS yang ditulis Ibahimas. (tanpa spasi, plus titik di tengah kalimat), adalah sebagian kurang cermatnya proses editing akhir yang dilakukan.
Terhadap berbagai kritikan para pembahas menyangkut karyanya, Ghazali menyatakan akan menampung masukan-masukan tersebut dalam revisi bukunya tersebut. (Puji Sastrowi)