JAKARTA (Arrahmah.id) – Menanggapi maraknya kasus kekerasan seksual yang dialami siswa di sekolah maupun santri di pondok pesantren, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta kepada para orang tua agar lebih selektif dalam memilih lembaga pendidikan untuk anak.
“Orang tua harus lebih selektif memilih lembaga tempat menitipkan anaknya dan orang tua harus sering berkomunikasi dengan anak atas kondisi yang mereka dapati di tempat belajarnya,” ujar Ketua Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa MUI, Masyhur Khamis dikutip dari laman resmi MUI, Kamis (12/1/2023).
Seperti diketahui, lanjutnya, belakangan ini kasus kekerasan seksual terhadap santriwati terjadi dalam waktu yang berdekatan, yakni di Lampung dan Batang, Jawa Tengah.
Maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, kata Masyhur, sebenarnya tidak hanya terjadi belakangan ini saja. Ia meyakini kasus serupa sudah berlangsung lama, namun korban tidak memiliki wadah untuk melapor.
Masyhur menduga, lemahnya iman serta pengawasan di dalam institusi atau lembaga juga lemahnya kontrol sosial merupakan faktor utama pelecehan seksual kian marak terjadi di lingkungan sekolah maupun pesantren.
Saat ini, kata dia, media sosial semakin terbuka sehingga semua peristiwa dapat diketahui secara luas. Menurutnya, sejak dahulu peristiwa semacam ini sudah sering terjadi, namun tidak tersebar luas lantaran belum ada sarana atau salurannya.
Masyhur mengajak aparat penegak hukum untuk rutin melaksanakan sosialisasi kepada berbagai pihak untuk mencegah potensi kekerasan seksual terjadi.
Ketegasan penegak hukum, kata dia, amat dibutuhkan untuk memutus kasus kekerasan seksual agar tidak terus terulang.
“Aparat harus lebih tegas, jangan bertele-tele karena sungkan atau hal lain, sebab kasus-kasus seperti ini telah mencoreng lembaga agama yang sangat suci dan sakral,” ungkapnya
Dia menilai, ustaz yang menjadi pelaku kekerasan seksual memberi gambaran bahwa, jika syahwat (nafsu) sudah menguasai diri, maka tidak ada lagi kesadaran tentang apa yang mereka lakukan dilihat sang pencipta.
“Artinya, nilai-nilai akidah, nilai-nilai akhlak sudah pupus dalam diri mereka. Mungkin mereka menduga perilaku tersebut tidak akan terbongkar oleh siapapun, tapi mereka lupa Allah maha melihat dan mengetahui,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)