Oleh Rosita
Aktivis Dakwah
Belakangan ini sering muncul berita tentang pelecehan seksual, terjadi di masyarakat pada umumnya ataupun di sekolah. Seorang oknum guru kesenian berinisial K (54) di Desa Ibun, Kabupaten Bandung melakukan tindakan pelecehan terhadap anak didiknya yang masih dibawah umur.
Pelecehan berlangsung di masjid sekolah saat sore hari selesai belajar mengajar, pada bulan Juli 2024. Menurut penuturan dari Kapolresta Bandung, Kombes Pol Kusworo Wibowo, peristiwa ini diketahui oleh teman pelajar yang langsung menceritakan kejadian itu kepada orang tua sang korban, sehingga mereka pun melaporkan kejadiannya kepada pihak kepolisian. (Tribun Jabar, 14 Oktober 2024)
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi masalah tersebut, khususnya di sekolah. Salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan termasuk kekerasan seksual di satuan Pendidikan (PPKSP). Bagi pelaku dikenakan ancaman kurungan penjara juga sejumlah denda. Sampai saat ini kasus bukannya berkurang justru semakin bertambah.
Berulangnya kembali kasus pelecehan seksual oknum guru terhadap murid menunjukan adanya penurunan kapasitas dan kualitas akademisi khususnya di komunitas pengajar, yang sejatinya memiliki tugas umum mendidik, membimbing, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, bahkan menjadi ujung tombak utama dari keberhasilan dan kemajuan pendidikan.
Dari berbagai pemberitaan, pelecehan seksual berpeluang terjadi di berbagai tempat, di kos-kosan, tempat kerja, rumah, pesantren, kampus, juga sekolah. Maka penyelesaian dengan hanya mengadakan penyuluhan dan menjatuhkan sanksi pada pelakunya saja, jelas tidak akan efektif. Harus ada upaya pencegahan sehingga kasus tidak berulang. Kita tidak bisa berharap kasus tidak akan berulang kemudian mampu diminimalisir, jika pemicunya terus dibiarkan.
Penerapan sistem kapitalisme sekuler dengan paham kebebasannya menjadi peluang besar terjadinya banyak kasus. Tidak lagi berpikir apakah sebagai pendidik, guru agama, atau saudara. Ketika paham kebebasan telah merasuki pemikiran mereka maka mereka pun akan bertindak sesuai hawa nafsunya dengan mengenyampingkan norma agama.
Sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan, termasuk di dunia pendidikan telah melahirkan banyak masalah. Berpendidikan tapi minim akhlak, jauh dari ketaatan. Yang dipuja hanyalah materi, jauh dari orientasi akhirat. Ditambah lagi, kapitalisme yang mengedepankan keuntungan materi, telah menyuburkan bisnis-bisnis haram sekitar pornografi dan pornoaksi. Semua itu ‘berkontribusi’ merusak akhlak bangsa. Usia 10 tahun kok bisa kecanduan seks? Itulah daya rusaknya paham kebebasan meracuni pemikiran generasi negeri ini. Maka itulah kenapa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah akan selalu gagal atau tidak berhasil.
Kondisi di atas sangat jauh berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam. Pendidikan dalam Islam memiliki tujuan membentuk kepribadian Islam dan guru adalah sebagai suri tauladannya. Sehingga memiliki pola pikir berdasarkan Islam, dan sikapnya pun diarahkan selaras dengan pola pikirnya.
Negara bertindak sebagai pencegah terjadinya kekerasan seksual dengan menerapkan mekanisme, di antaranya: Pertama, menerapkan kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, sehingga setiap guru dan murid akan memahami tindakan apa saja yang boleh dan tidak boleh.
Kedua, negara akan mencetak masyarakat yang bertakwa yang bertindak sebagai kontrol sosial, untuk mencegah individu melakukan pelanggaran hukum. Suasana amar ma’ruf nahi munkar akan tercipta. Ketiga, penguasa akan menghukum tegas para pelaku pelecehan seksual. Pemerkosa akan mendapatkan 100 kali cambuk (bila belum menikah) dan hukuman rajam (bila sudah menikah), penyodomi dibunuh. Jika sampai melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan terkena denda ⅓ dari 100 ekor unta atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina. Dengan hukuman tersebut masyarakat yang akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan berpikir seribu kali sebelum melakukan tindakan.
Selain itu negara tidak akan membiarkan pornografi dan pornoaksi. Karena negara tidak menganut paham kebebasan tetapi ketaatan yang akan menyelamatkan para penguasa beserta rakyatnya nanti di akhirat. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi.
Itulah langkah-langkah yang diambil oleh negara yang menerapkan syariat Islam. Langkah-langkah di atas hanya bisa dijalankan oleh negara yang mencontoh kepemimpinan dari Rasulullah saw, lalu dilanjutkan oleh para sahabat dan para khalifah. Tentu saja terwujudnya sistem Islam mesti diperjuangkan.
Wallahua’lam bis shawab