Oleh Sujilah
Pegiat Dakwah dan Literasi
Berita kekerasan seksual kembali mencuat. Kali ini datang dari SMPN 3 Baleendah Kabupaten Bandung Jawa Barat, dimana ada oknum guru yang dilaporkan ke polisi karena diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Pelaku kekerasan seksual tersebut kabarnya merupakan wakil kepala sekolah. Semua ini terbongkar karena ada pihak keluarga korban yang melapor ke Polda Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa pihak korban merasa terancam dengan adanya kasus yang menimpa anaknya. (Hayoo.id, 29/2/2024)
Tindak asusila dengan kekerasan seksual menjadi berita yang mengkhawatirkan di negeri ini. Kasusnya bukannya berkurang tapi malah makin meningkat. Mirisnya para pelaku kekerasan ini kerap datang dari orang terdekat seperti keluarga atau orang yang harusnya menjadi pelindung dan pendidik moral seperti guru. Seharusnya guru itu ditiru dan dicontoh, ini justru berbuat yang tidak senonoh. Meski berbagai upaya dibuat untuk menekan kasus bahkan sudah ada undang-undang anti kekerasan seksual pada perempuan tetapi tidak pernah menuntaskan persoalan.
Di tengah sistem yang menganut kebebasan saat ini, membahas kasus kekerasan seksual sangat membutuhkan kemampuan untuk memahami realitas sosial masyarakat. Dalam pergaulan saat ini di kehidupan masyarakat kita tidak memiliki batasan interaksi antara lawan jenis. Prinsip kebebasan ini telah memberikan celah setiap individu untuk berbuat sesuka hati. Tentu saja semua ini menjadi dilema sosial walaupun undang-undang mendefinisikan kekerasan seksual sebagai perbuatan yang melanggar nilai kesusilaaan dan kesopanan. Namun dalam sistem sekuler liberal sekarang tidak akan ada manfaatnya. Yang ada malah kasus serupa terus terulang dan tidak pernah selesai secara tuntas.
Permasalahan yang mendasar mengenai kasus kekerasan seksual, terletak pada konsep-konsep kehidupan yang lahir dari hukum itu sendiri. Sistem sekuler nyatanya telah menghasilkan pemikiran liberal yang mengakomodasi kebebasan berekspresi dan berperilaku. Di satu sisi negara menginginkan masyarakat bebas dari kekerasan seksual, tapi di sisi lain ada jaminan kebebasan bagi setiap individu. Padahal prinsip kebebasan ini yang membuat munculnya problem dalam kehidupan sosial masyarakat. Maka dari kebebasan berperilaku individu bebas mempertontonkan auratnya, dan mata lelaki bebas melihatnya lewat sosial media atau pun dalam kehidupan sehari-hari. Maka dengan beragam tontonan dari media tanpa filter dan kontrol negara, akan membangkitkan syahwat dan meneror pikiran siapa saja, dan akhirnya akan tergerak melakukan perbuatan tidak senonoh. Faktanya ini tidak hanya terjadi dalam lingkup pendidikan, tapi nyaris di masyarakat juga banyak terjadi hal yang serupa.
Sungguh kondisi ini berpotensi merugikan korban dan masyarakat pada umumnya. Sementara sistem sekuler tidak memiliki langkah preventif dan terarah untuk menangkal berulangnya kasus kekerasan seksual. Terlebih sanksi yang diberikan kepada pelaku sama sekali tidak berefek jera, merujuk pada pasal 5 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual nonfisik bisa dipidana penjara maksimal 9 bulan atau denda 10 juta. Pelecehan seksual bersifat fisik sanksinya kurungan penjara 4-12 tahun dengan denda Rp50 juta sampai 300 juta. Sanksi ini jelas tidak berefek jera bagi pelaku yang akhirnya berpeluang besar kasus serupa terus bermunculan di tengah masyarakat. Sanksi ini juga tidak bisa menyembuhkan trauma korban akibat pelecehan seksual, dan pelaku masih berpeluang melakukan hal yang serupa.
Padahal Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur sistem sosial dan pergaulan secara paripurna dan masyarakat Islam memiliki langkah preventif dan sistem sanksi yang berefek jera sehingga menutup celah terulangnya kasus serupa.
Dari aspek preventif Islam membangun kerangka konsepnya yaitu berdasarkan fitrah manusia. Bahwa sesungguhnya Allah Swt menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan, dan naluri ini harus berjalan sesuai fitrah. Langkah preventif di antaranya: Pertama, memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluan mereka, bahwa Islam mewajibkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar’i berupa jilbab (gamis) yang tertera dalam (Qs. al-Ahzab ayat 59) dan menggunakan khimar/kerudung (Qs. an-Nur ayat 31). Allah juga memerintahkan laki-laki untuk menjaga pandangan.
Kedua, Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat, seperti dalam sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali bersendirian dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad)
Ketiga, negara merupakan bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Maka negara tidak cukup membuat seruan mengenai pentingnya akademisi untuk menyadari potensinya mencegah atau menghentikan kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Selanjutnya negara memiliki peran strategis untuk mengontrol ketat seluruh tayangan maupun pemberitaan di sosmed. Apalagi sekarang bisa kita lihat, begitu mudahnya masyarakat mengakses situs-situs porno yang menayangkan adegan tidak senonoh. Dari sinilah pelaku melampiaskan syahwatnya melalui pemerkosaan, pelecehan seksual dan lain sebagainya.
Keempat, dalam Islam pelaku pelecehan seksual mendapat hukuman dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam. Hukumannya bisa berbentuk kurungan penjara atau hukuman mati. Sanksi (uqubat) bagi pemerkosa yang berzina dan belum menikah adalah dengan 100 kali cambuk, dan yang telah menikah hukuman rajam sampai mti
Upaya preventif dalam Islam di samping bertujuan menjaga interaksi lawan jenis yang bisa memunculkan syahwat dan berujung pada kejahatan seksual, juga upaya tersebut akan memberikan rasa aman kepada orang-orang yang rentan menjadi objek kejahatan seksual seperti perempuan dan anak-anak. Tindakan preventif yang diajarkan Islam akan mewujudkan tanggung jawab negara dalam bentuk penegakan sanksi. Sistem hukum dan sanksi Islam tidak hanya mencegah berulangnya kasus, tetapi juga mewujudkan sistem sosial, pendidikan, dan pergaulan yang sehat dan aman bagi masyarakat. Dengan diberikan sanksi yang tegas akan mewujudkan efek jera bagi pelaku. dan pastinya mewujudkan keadilan bagi korban dan menutup celah agar tidak terulang kasus yang serupa. Semua ini bisa terwujud kalau Islam kaffah diterapkan secara menyeluruh, sehingga masalah kekerasan seksual bisa terselesaikan.
Wallahu’alam bisshawab.