(Arrahmah.com) – Ketika kemarin saya membuat status di media social bahwa pelaku bom bunuh diri adalah korban, mereka yang tewas karena bom bunuh diri juga korban, banyak yang mengamuk dan tidak terima. Bahkan ada dan banyak yang menuduh saya mendukung tindak terorisme. Aneh dan terlalu “pintar” orang yang berkesimpulan demikian.
Saya sedikitnya paham Islam, dan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi,” (QS. al-Maaidah: 32).
Ini “ayat terorisme” yang kerap saya sampaikan di banyak tempat, bahwa Islam tidak mentolerir apapun bentuk pembunuhan, termasuk tindakan terror yang tanpa sebab. Saya tentu bersedih dan mengutuk keras atas kejadian bom gereja di Surabaya. Namun saya tidak mau ikutan latah mengutuk si pelaku bom bunuh. Saya tetap berkeyakinan bom Surabaya tidak berdiri sendiri. Ada dalang atau bahasanya Abanda Din Syamsuddin disebutnya actor intelektual, di belakangnya dan pelaku bom bunuh diri hanyalah “korban” dari dalang.
Siapa dalangnya? Bisa beragam. Namun dalam kajian teori tentang terorisme, utamanya state terrorism, disebutkan bahwa negara lah sesungguhnya pelaku tindak terorisme yang paling besar dan sadis. Coba tengok sejarah, dengan atas nama negara, berapa juta manusia yang telah menjadi korban teror yang dilakukan oleh Hitler, Mussolini, Lenin, Stalin, Mao Tse Tsung, Asoka, George Bush (Senior maupun Yunior), Pol Pot (Khmer Merah), Slobodan Milosevic, Junta militer di Myanmar, penguasa kulit putih di Afrika Selatan era pra-Nelson Mandela, Soeharto, dan banyak lagi.
Dalam kajian hubungan internasional, terutama terkait teori actor, juga disebutkan bahwa Negara mempunyai peran penting dalam relasi-relasi internasional, termasuk relasi yang berujung pada rangkaian pembunuhan, atau lebih tepatnya pembantaian bahkan genosida.
Berangkat dari paparan teoritik di atas, maka ketika membincang teroris dalam konteks global, misalnya ISIS, jelas dalangnya adalah si pembuat ISIS itu sendiri, yaitu Amerika, Inggris dan Israel. Data terkait dengan keterlibatan ketiga Negara ini dalam pendirian ISIS berserakan di mana-mana. Jangan pura-pura bodoh dan tidak tahu. Ketika bicara ISIS lalu terus menerus melakukan penyudutan terhadap (kelompok) Islam tanpa secuilpun mencoba menyeret ketiga nama negara tersebut, itu adalah cermin kebodohan.
Konteks terorisme yang terjadi di Indonesia bisa saja karena dampak dari terorisme global, artinya tak berdiri sendiri. Ada keterlibatan pihak lain, termasuk actor Negara maupun non-negara lain, namun bisa juga berdiri sendiri. Pertarungan pengaruh dan antar-elit negara bisa juga menjadi pemicu tindakan terorisme, selain tentunya penyebab klasik terjadinya terorisme yang sudah kerap disebut banyak orang, seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan social dan ekonomi, dan sebagainya.
Dalam konteks Indoneaia, terorisme negara bukan barang asing. Paling sering melakukan adalah rezim Orde Baru. Kasus Komando Jihad, beragam kasus pembantaian seperti kasus Tanjung Priok, kasus Warsidi Lampung, kasus Petrus, dan banyak lagi, adalah contoh nyata bahwa terorisme negara bukan tidak pernah terjadi di Indonesia.
Dalam beberapa kasus penanganan tidak terorisme juga patut diduga negara terlibat dalam tindak terorisme itu sendiri. Puluhan nyawa terduga teroris yang melayang tanpa diproses melalui pengadilan adalah cermin nyata di mana negara telah menjadi bagian dari pelaku terror.
Kasus yang paling mengenaskan adalah kasus Siyono, yang juga meninggal karena dituduh teroris. Dalam kasus Siyono, sebagai bentuk pengakuan atas kesalahannya, pihak Densus bahkan sampai mencoba memberikan semacam “uang belasungawa” yang konon ditolak oleh pihak keluarga korban.
Kalau mengkritisi beberapa kejadian terror bom yang terjadi di Indonesia, sebenarnya korbannya bukan hanya mereka yang meninggal atau terluka di lokasi pemboman, tapi pelaku pemboman sendiri adalah korban. Para pelaku bom bunuh diri ini sering disebut sebagai “pengantin bom”, mereka telah dicuci otaknya sampai kemudian bersedia untuk melakukan bom bunuh diri. Tengok pelaku bom Surabaya konon adalah seorang ibu dengan kedua anaknya yang masih kecil. Menyedihkan sekali bukan? Mereka sejatinya korban juga, korban dari si pencuci otak ini. Siapa si pencuci otak? Berangkat dari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, actor Negara sangat mungkin dan bahkan patut diduga menjadi bagian dari pencuci otak.
Yang pernah jadi aktivis era 1970-1980, coba ditanya, pasti tidak sedikit yang pernah dicuci otaknya oleh Negara dan kemudian menjadi intel atau mata-mata dari negara.
Kita tentu membayangkan betapa sedihnya keluarga dari korban terror bom yang meninggal maupun cidera. Tapi coba renungkan dengan hati pula, bayangkan betapa sedihnya juga keluarga dari pelaku bom bunuh diri. Coba kalau pelaku bom bunuh diri itu bagian dari keluarga anda, apa anda akan rela dicaci maki, disumpahserapahi sebagai biadab dan sebagainya?.
Tidak cukup dengan beramai-ramai mengecam pelaku teror bom. Memangnya si pelaku bom bunuh diri yang juga meninggal itu secara kasat mata mendengar kecaman kita. Yang justru jauh lebih penting untuk dilakukan adalah mendesak secara serius kepada negara untuk mengungkap siapa actor intelektual dan termasuk tidak menutup kemungkinan ada agenda apa di balik setiap terror bom yang terjadi. Ini yang tak pernah dituntut untuk diungkap secara serius: Aktor intelektual dan agenda setting di balik terror bom.
Kenapa saya mempunyai perspektif seperti ini dalam setiap muncul kasus terorisme di Indonesia, karena saya percaya bahwa teori konspirasi itu ada dan bekerja dengan baik di Indonesia. Sekian.
*Ma’mun Murod Al-Barbasy (Guru Ilmu Politik FISIP UMJ)
(ameera/arrahmah.com)