(Arrahmah.id) – 4. Menumbuhkan Adab
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga mengatakan: “Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum. Melainkan juga menahan diri dari perkataan yang sia-sia dan tidak senonoh. Jadi jika ada yang mencaci atau berperilaku jahil denganmu, maka katakanlah: Sesungguhnya aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaymah (no. 1996) dan aI-Hakim (1/430)
Banyak riwayat yang menunjukkan pentingnya kejujuran dan perilaku yang baik. Oleh karena itu, bulan yang penuh berkah ini mengajarkan kita tidak hanya untuk menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga untuk menahan diri dari pernyataan dan tindakan yang dapat merugikan orang lain dan melanggar hak-hak mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda sembari menjelaskan tentang Mukmin sejati: “Seorang Mukmin adalah orang yang Muslim lainnya aman dari lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari (1/53) dan Muslim (no. 40), dari ‘Amr ibn al-‘As radhiyallahu ‘anhu.)
Oleh karena itu, kita sebagai individu harus memeriksa kekurangan dalam karakter kita, dan kemudian berusaha memperbaikinya – mencontohkan diri kita pada karakter Nabi Muhammad shallallahu ‘ alayhi wa sallam – mencita-citakan juga keunggulan yang disebutkan dalam sabdanya: “”Aku menjamin sebuah rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat kusir walaupun ia benar, sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun bercanda, dan sebuah rumah di puncak surga bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud (no. 4800) dan al-Bayhaqi (10/249), dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
Maka dengan menjauhi penindasan, sikap tidak tahu malu, memendam kebencian, berdusta dan jenis kebohongan lainnya, kita dapat diselamatkan dari batalnya pahala puasa kita – sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam : “Bisa jadi orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan haus.” (HR. Ahmad (2/441) dan Ibnu Majah (1/139), dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu, disahkan dalam Sahih at-Targhib (no. 1076)
- Merasakan persatuan kaum Muslimin
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Berpuasalah ketika mereka berpuasa, dan berbukalah ketika mereka berbuka, dan berkurbanlah pada hari mereka berkurban.” (HR. at-Tirmidzi (no. 693), dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu)
Imam at-Tirmidzi (w. 275H) – rahimahullah – berkata: “Sebagian Ahli Ilmu menjelaskan hadis ini dengan mengatakan: Artinya puasa dan berbuka bersama jama’ah dan mayoritas manusia.” (Jami’ at-Tirmidzi (3/312))
Dengan demikian, di bulan yang penuh berkah ini kita dapat merasakan meningkatnya rasa persatuan dan menjadi umat yang bersatu karena puasa dan berbuka puasa kita bersama. Kita juga merasakan peningkatan kesadaran tentang keadaan umat Islam dan kesulitan yang mereka alami, karena: “Selama puasa, seorang Muslim merasakan dan mengalami apa yang dirasakan saudara-saudaranya yang membutuhkan dan kelaparan, yang terpaksa beraktivitas tanpa makanan dan minuman selama berhari-hari – seperti yang terjadi hari ini pada banyak Muslim di Afrika.” (Syeikh ‘Abdul-‘Aziz ibn Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi ‘ah(5/211))
Sesungguhnya, umat Islam ketika saling membantu merupakan salah satu fundamental besar yang membangun Islam, sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Dan berpegang teguh pada tali Allah dan janganlah terpecah belah.” (TQS Ali Imran: 103)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( At Taubah: 71)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728H) – rahimahullah – berkata: “Kesejahteraan manusia tidak akan sempurna – baik di dunia maupun di akhirat – kecuali dengan ijtima’ (kebersamaan), ta’awun (tolong menolong), dan tanasur (gotong royong); gotong royong dalam rangka untuk mengamankan keuntungan, dan saling membantu untuk menangkal bahaya. Karena alasan inilah manusia dikatakan bersifat sosial dan sipil. (Al-Hisbah fil-Islam (hal. 9) dari Syeikh ul-lslam Ibnu Taimiyah)
Demikianlah kita melihat bahwa Islam sangat mementingkan penyatuan hati dan mendorong ijtima’ (kolektivitas). Hal ini tidak hanya tercermin pada bulan Ramadhan saja, tetapi juga pada ibadah-ibadah lainnya. Jadi, misalnya, kita telah diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk shalat lima waktu secara berjamaah, dan itu telah dijadikan dua puluh tujuh kali lebih banyak pahalanya daripada shalatnya sendiri-sendiri, diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/109) dan Muslim (no. 650), dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.
Demikian pula, semangat kolektif serupa ini ditunjukkan dalam ibadah haji, bahkan dalam mempelajari ilmu, keberkahan ditempatkan dalam kebersamaan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam : “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)
Demikian pula dalam keseharian kita seperti makan, Islam mengajarkan kebersamaan. Para sahabat mendatangi Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan berkata kepada Beliau: “Wahai Rasulullah, kami makan tetapi tidak menjadi kenyang.” Beliau menjawab: “Mungkin karena kalian makan sendiri-sendiri?” Mereka menjawab: “Ya!” Lalu beliau berkata: “Makan bersamalah kalian dan sebut nama Allah. Maka akan ada berkah untuk kalian di dalamnya.” (HR. Abu Dawud (no. 3164), dari Wahshi ibnu Harb radhiyallahu ‘anhu, hal ini ditegaskan oleh al-Hafidz al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya)
Bahkan dalam cara duduk pun terlihat semangat kebersamaan. Jadi, suatu hari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bertemu dengan para sahabat yang sedang duduk di lingkaran terpisah, lalu dia berkata kepada mereka:“Kenapa aku melihat kalian duduk terpisah!” (HR Muslim (no. 331), dari Jabir ibnu Samurah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula, Abu Tha’labah al-Khurhani radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap kali orang-orang berkemah, mereka biasa berpisah di celah gunung dan lembah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya celah diantara kalian (melewati gunung dan lembah) adalah dari setan.” Setelah itu, setiap kali mereka berkemah, mereka selalu berdekatan, sedemikian rupa sehingga dikatakan: Jika kain dibentangkan di atas mereka, itu akan menutupi mereka semua.”
Dengan demikian, Ramadhan adalah waktu untuk meningkatkan rasa persatuan dan persaudaraan, serta komitmen kita kepada Allah dan Agama-Nya. Dan tidak diragukan lagi bahwa rasa persatuan ini mensyaratkan bahwa: “Kita semua bekerjasama sebagai saudara yang tulus – bukan karena hizbiyyah (semangat kepartaian yang fanatik), atau sektarianisme – untuk mewujudkan apa yang bermanfaat bagi umat Islam dan untuk membangun masyarakat Islam yang dicita-citakan oleh setiap Muslim – sehingga Syari’ah ( Hukum yang Ditetapkan) Allah diterapkan di Bumi-Nya.” (Sualu wa Jawabu Hawla Fiqh al-Waqi’ (hal. 24) dari Syekh Nasir ad-Din al-Albani)
Jadi kita harus memeriksa diri kita sendiri selama bulan Ramadhan dan tanyakan: Apa peran saya dalam membantu umat yang berharga ini untuk mendapatkan kembali kehormatannya, dan mengembalikan persatuan dan kekuatan menyeluruh kepada umat, dan kemenangan yang telah dijanjikan kepadanya.
Demikian pula, kita harus merenungkan karakter dan tindakan kita sendiri seraya bertanya, apakah kita perbuatan kita selama ini telah membantu proses persatuan dan persaudaraan, atau malah sebaliknya, merugikan dan menghalangi persatuan umat.
Maka sudah selayaknya kita memohon kepada Allah agar memberikan kita kemampuan untuk mengubah diri kita menjadi lebih baik, selama bulan yang penuh berkah ini, dan tidak menjadi orang yang terhalang dari Rahmat dan Pengampunan-Nya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar dan Dialah Yang Maha Mengetahui. (zarahamala/arrahmah.id)
Majalah Al-Istiqaamah , Edisi No. 5 – Ramadhan 1417H / Januari 1997