(Arrahmah.id) – Allah SWT- berfirman: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (TQS. Al Baqarah: 185)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima hal: Bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji ke baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari (1/48) dan Muslim (no. 16), dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam juga mengatakan: “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang atau terjauhkan (dari kebaikan).” (HR. Ahmad)
Di antara banyak pelajaran penting yang bisa dipetik dari puasa Ramadhan adalah:
- Mendapatkan Taqwa
Puasa disyariatkan agar kita bertaqwa, sebagaimana firman Allah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (TQS Al Baqarah: 183)
Talq bin Habib (w. 100H) – rahimahullah – berkata:
“Ketika fitnah (cobaan dan kesengsaraan) muncul maka padamkanlah dengan taqwa.”
Kemudian dia ditanya tentang apa itu taqwa, maka dia menjawab:
“Taqwa adalah taat kepada Allah, atas cahaya iman dan berharap akan Rahmat Allah. Dan taqwa adalah meninggalkan ketidaktaatan kepada Allah, atas cahaya dari Allah, karena takut akan (azab) Allah.” (Ibnu al-Mubarak dalam Kitab az-Zuhd (hal. 473) dan Ibn Abi Shaybah dalam Kitab al-Iman (no. 99)
“Ini adalah salah satu definisi terbaik dari taqwa. Karena setiap tindakan harus memiliki titik awal dan tujuan. Dan suatu tindakan tidak akan dianggap sebagai tindakan ketaatan, atau kedekatan dengan Allah, kecuali itu dimulai dari iman. Jadi, iman – dan bukan kebiasaan, keinginan, atau mencari pujian atau ketenaran, atau sejenisnya – yang harus menjadi awal suatu tindakan. Dan tujuan dari tindakan itu adalah untuk mendapatkan pahala dari Allah dan untuk mencari keridhaan-Nya.” (Risalah at-Tabukiyyah (hal. 26) Imam Ibnu al-Qayyim.
Jadi puasa adalah sarana mencapai taqwa, karena puasa membantu dan mencegah seseorang dari banyak dosa yang cenderung dilakukannya. Karena itu, Nabi sallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Puasa adalah perisai yang digunakan seorang hamba untuk melindungi dirinya dari api neraka.” (HR. Ahmad (3/241) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu).
Maka sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri, setelah setiap hari berpuasa: Apakah puasa ini membuat kita lebih takut dan taat kepada Allah? Apakah itu membantu kita menjauhkan diri dari dosa dan ketidaktaatan?
- Mencari kedekatan dengan Allah
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Allah berfirman: Barang siapa yang memusuhi sahabat-Ku, Aku akan berperang dengannya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada melaksanakan kewajiban yang telah Kuberikan kepadanya. Hamba-Ku terus melakukannya mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal pilihan agar Aku mencintainya.” (HR. Bukhari (11/481), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Jadi mendekatkan diri kepada Allah SWT di bulan yang penuh berkah ini, dapat dicapai dengan menunaikan kewajiban dan juga membaca Al- Qur’an serta merenungkan maknanya, memperbanyak kebaikan dan bersedekah, berdoa kepada Allah, melaksanakan Tarawih, mencari Lailatul Qadar, menghadiri majelis ilmu, dan berungguh-sungguh melakukan perbuatan yang akan mendekatkan hati kepada Allah dan mendapatkan ampunan-Nya.
Tingkat ikhtiar kita di bulan yang penuh berkah ini harus lebih besar dari ikhtiar kita untuk beribadah kepada Allah di bulan lainnya, karena keunggulan dan pahala yang telah Allah tempatkan di dalamnya. Termasuk pula dari sarana besar mencari kedekatan dengan Allah di bulan ini adalah melakukan bagi siapa pun yang mampu.
Ibnu al-Qayyim (w. 751H) – rahimahullah – berkata: “Allah juga mewajibkan i’tikaf bagi mereka, tujuannya adalah agar hati menjadi sepenuhnya disibukkan dengan Allah SWT, berkonsentrasi hanya kepada-Nya, dan terputus dari disibukkan dengan ciptaan-Nya. Sebaliknya, hati hanya disibukkan dengan Allah SWT sedemikian rupa sehingga mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan berpaling kepada-Nya menggantikan semua kecemasan dan kekhawatiran hati. Jadi semua perhatiannya adalah untuk Allah, dan pikirannya semua diarahkan untuk mengingat-Nya dan memikirkan bagaimana mencapai Keridhaan-Nya dan apa yang akan menyebabkan kedekatan kepada-Nya. Ini membuatnya merasa puas dengan Allah. Pada gilirannya mempersiapkannya untuk berdamai dengan Allah saja, pada hari ketika ia berada di dalam kubur, ketika tidak akan ada orang lain yang memberikan kenyamanan, atau siapa pun yang memberikan penghiburan, kecuali Dia. Jadi inilah tujuan utama i’tikaf .” (Za’ad al-Ma’ad (2/81) dari Ibn al-Qayyim)
- Memperoleh kesabaran
Imam Ahmad (w. 241H) – rahimahullah – berkata: “Allah telah menyebutkan sabr (sabar) di lebih dari sembilan puluh tempat dalam Kitab-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu al-Qayyim dalam Madarij as-Salikin (2/152)
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Berpuasa (di) bulan kesabaran dan (berpuasa) tiga hari dari tiap-tiap bulan adalah (seperti) puasa selama satu tahun.” (HR. Ahmad (2/261) dan an-Nasa’i (1/327) dari Abu Hurairah)
Ibnu ‘Abdul-Barr (w. 464H) – rahimahullah – berkata: “Yang dimaksud dengan bulan Sabar adalah bulan Ramadhan… Jadi puasa disebut sabar karena menahan jiwa dari makan, minum, hubungan suami istri atau nafsu seksual.” (At-Tamhid (19/61) dari Al-Hafidh Ibn ‘Abdul-Barr)
Beliau sallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu yang mampu menikah, maka menikahlah, karena itu menahan mata dan melindungi kemaluan. Tetapi siapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena itu akan menjadi perisai baginya.” (HR. Bukhari (123) dan Muslim (no. 123), dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Jadi puasa adalah sarana belajar pengendalian diri dan kesabaran. Dengan kesabaran kita mampu memantapkan tekad kita untuk beribadah kepada Allah semata, dengan ikhlas, dan juga menghadapi pasang surut kehidupan. Jadi – misalnya – dengan sabar kita bisa melaksanakan shalat kita dengan tenang dan benar, tanpa tergesa-gesa.
Dengan kesabaran, kita mampu menahan jiwa kita dari keserakahan dan kekikiran, sehingga memberikan sebagian dari kelebihan harta kita di zakat. Dengan kesabaran, kita mampu menundukkan temperamen jiwa yang sakit, sehingga mampu menanggung cobaan dan kesulitan haji. Demikian pula, dengan kesabaran kita mampu berdiri teguh dan berperang melawan orang-orang kafir, munafik dan bid’ah – menahan serangan mereka yang terus-menerus, tanpa ragu dan tertekuk, tanpa putus asa atau berpuas diri, dan tanpa menjadi tergesa-gesa dan tidak sabar pada tanda-tanda awal kesulitan.
Allah SWT berfirman: “Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar.” (TQS Al Anfal :65-66)
Jadi, tanpa ilmu dan kesabaran, tidak ada yang tersisa, kecuali semangat dan emosi yang tidak terkendali, teriakan dan slogan kosong, ucapan yang tidak memperkuat justru melemahkan, dan tindakan yang tidak membangun, melainkan menghancurkan.
Jadi di bulan ini, kita harus berusaha untuk mengembangkan tekad yang kuat untuk melakukan ketaatan, dan menghiasi diri kita dengan kesabaran dan keyakinan.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Dan ketahuilah bahwa kemenangan datang dengan kesabaran, kemudahan dengan penderitaan, dan kemudahan dengan kesulitan.” (HR. Ahmad (1/203) dan at-Tabarani dalam al-Kabir (11/100), dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu).
Bersambung…
(zarahamala/arrahmah.id)