Putus asa untuk membantu keluarganya yang mengungsi akibat perang Suriah, pejuang oposisi Suriah pro-Turki, Abu Ahmad, menunggu untuk dikerahkan ke Azerbaijan dengan harapan mendapatkan hampir 80 kali gaji saat ini.
“Saya mendaftar untuk bertempur lebih dari seminggu lalu untuk pergi ke Azerbaijan, selama tiga bulan dengan imbalan 2.000 USD sebulan,” ujar kombatan berusia 26 tahun itu kepada AFP melalui layanan pesan telepon, menggunakan nama samaran untuk keselamatannya.
Bentrokan berkecamuk antara pasukan Armenia dan Azerbaijan sejak pekan lalu di Nagorno-Karabakh, provinsi etnis Armenia yang memisahkan diri dari Azerbaijan dalam perang sengit pada 1990-an.
Baku dan Yerevan saling tuduh mengenai pihak mana yang memulai babak pertempuran terakhir. Hampir 200 kematian telah dilaporkan, menjadikannya babak paling mematikan sejak perang besar terakhir.
Ankara mendukung sekutu lamanya Baku dalam bentrokan itu dan telah dituduh oleh Yerevan mengirim proksi Suriahnya untuk mendukung pasukan Azerbaijan, tuduhan yang didukung oleh Prancis meskipun ada bantahan dari Azeri.
Tetapi AFP berbicara dengan pejuang oposisi Suriah dari Aleppo dan Idlib yang bersiap untuk berangkat ke Kaukasus, dan satu orang sudah berada di zona konflik.
Dari sebuah kamp pengungsi di bagian utara Suriah yang dikendalikan oleh pejuang oposisi yang didukung Turki, Abu Ahmad mengatakan kepada AFP bahwa dia sedang menuju ke Karabakh dengan harapan bisa menafkahi istri dan anak-anaknya dengan lebih baik.
“Kami kehilangan desa dan rumah kami, dan kami tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan,” kata Abu Ahmad, yang telah menjadi pejuang oposisi selama lima tahun.
“Saya menunggu giliran saya untuk pergi ke Azerbaijan untuk menghemat uang, kembali dan memulai bisnis,” katanya dari kamp di utara provinsi Aleppo.
Tidak ada pilihan
Abu Ahmad dan keluarganya meninggalkan rumah mereka awal tahun ini selama serangan hebat oleh pasukan rezim Asad yang didukung Rusia, sebelum gencatan senjata pada Maret menghentikan pertempuran tersebut.
Dia mengatakan penghasilannya telah jauh berkurang, ia hanya menerima 200 lira Turki (sekitar 25 USD) dari kelompoknya bulan lalu.
Dia mengatakan, tidak cukup untuk menghidupi keluarganya di negara yang dilanda perang sembilan tahun, di mana harga makanan melonjak dalam beberapa bulan terakhir.
Dengan laporan tentang warga Suriah yang terbunuh di Nagorno-Karabakh, Abu Ahmad menyadari bahwa dia mengambil risiko.
Tapi “kami tidak punya pilihan lain,” katanya. “Kami telah mencapai titik di mana kami siap mengorbankan diri untuk menafkahi anak-anak kami.”
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), kelompok pemantau yang berbasis di Inggris, mengatakan 850 pejuang Suriah telah menuju ke Azerbaijan melalui Turki, dan ratusan lainnya bersiap untuk mengikutinya.
Para pejuang -dari kelompok oposisi bersenjata pro-Ankara- dijanjikan gaji bulanan antara 1.500 hingga 2.000 USD, menurut SOHR.
Yang pertama di antara mereka tiba di Azerbaijan sebelum pertempuran dimulai, mereka mengira mereka akan menjaga ladang minyak dan perbatasan.
Seorang pejuang dari kota Atareb di provinsi Aleppo mengatakan kepada AFP bahwa dia berada di garis depan.
“Ya, saya di Azerbaijan,” ia mengirim pesan, tetapi menolak memberikan rincian lebih lanjut.
Seorang sumber di kampung halamannya mengatakan dia berada di unit yang komandannya, Mohammad Shaaban, telah meninggal.
Shaaban termasuk di antara empat warga Suriah yang fotonya dibagikan di media sosial setelah mereka dilaporkan terbunuh.
Tidak cukup untuk membeli roti
Kepala SOHR, Rami Abdurrahman mengatakan setidaknya 28 pejuang Suriah tewas dalam bentrokan sejak Ahad lalu.
Kerabat mereka mengonfirmasi tiga korban.
Turki telah mengakui mengirim pejuang Suriah ke Libya yang dilanda konflik sebagai bagian dari dukungannya sejak akhir tahun lalu kepada pemerintah yang didukung PBB di Tripoli.
Ankara belum secara resmi mengomentari pengiriman tentara bayaran Suriah ke Azerbaijan, sementara Baku mengatakan orang-orang Armenia telah mendaftar di sisi separatis.
Di provinsi barat laut Suriah, Idlib, pejuang oposisi Abu Adnan, yang berusia 38 tahun, mengatakan dia telah didekati untuk mendaftar sebagai seorang pejuang di Kaukasus.
“Giliran kami tidak datang untuk pergi ke Libya, jadi kami disuruh bersiap untuk pergi ke Azerbaijan,” katanya dengan menggunakan nama palsu karena takut akan dampaknya.
Abu Adnan mengatakan dia tiba di utara negara itu pada 2017, setelah meninggalkan kampung halamannya.
Dia bergabung dengan kelompok pejuang oposisi dan pindah dari satu kota ke kota lain bersama keluarganya sampai berakhir di sebuah kamp.
“Di sini kami dibayar dimuka sejumlah 200 lira Turki dan itu tidak cukup untuk membeli roti, tetapi di sana kami akan dibayar sejumlah 1.500 USD,” katanya kepada AFP melalui WhatsApp.
Tapi dia bilang uang bukan satu-satunya alasan.
“Kami berdiri dengan sekutu kami Turki karena mereka berdiri bersama kami melawan Rusia dan berjuang untuk Suriah, dan kami harus mendukungnya setiap saat,” katanya.
“Jika Turki kalah dalam pertempuran apapun, itu akan menjadi di bawah tekanan dan dipaksa untuk menyerahkan wilayah kami kepada rezim. Dan kemudian kami tidak akan pernah pulang.” (haninmazaya/arrahmah.com)