SANAA (Arrahmah.com) – Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh, yang dirawat karena luka pecahan peluru di Riyadh, tidak akan pulang, demikian yang dikatakan seorang pejabat Saudi pada hari Jumat (17/6/2011). Hal tersebut bertentangan dengan klaim Sanaa bahwa Saleh akan segera kembali.
Seorang pejabat Yaman segera membantah klaim tersebut, saat ratusan ribu demonstran anti-Saleh menuntut pembentukan dewan sementara yang akan menggantikan Saleh dan memastikan aga Saleh tidak kembali berkuasa.
“Presiden Yaman tidak akan kembali ke Yaman,” kata pejabat Saudi kepada AFP, yang tidak mau diungkap jati dirinya.
“Namun ia belum memutuskan di mana akan tinggal,” tambah pejabat itu yang seolah-olah menunjukkan bahwa Saleh akhirnya bisa saja meninggalkan Arab Saudi untuk tinggal di negara lain.
Pejabat itu tidak menentukan apakah keputusan untuk tidak kembali ke rumah diambil oleh Presiden Saleh sendiri. Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan yang diungkapkan Wakil Menteri Informasi Yaman Abdo Al Janadi.
“Presiden Saleh akan kembali dalam beberapa hari mendatang,” katanya kepada AFP.
Presiden Saleh diterbangkan ke Riyadh pada tanggal 4 Juni lalu, sehari setelah ia terluka dalam ledakan bom di sebuah masjid dalam kompleks kepresidenan di Sana’a. Sejak serangan itu Saleh tidak lagi terlihat di depan umum.
Laporan tentang kondisi kesehatan Presiden yang berusia 69 tahun itu telah jelas, namun Raja Bahrain, Hamad dilaporkan telah memanggilnya pada hari Kamis, dua hari setelah Raja Saudi melakukan percakapan telepon dengan dia.
Dalam ketiadaan Saleh, wakilnya Abdrabuh Mansur Hadi “memimpin” di bawah tekanan lokal dan internasional yang intensif dalam memperhatikan tuntutan pengunjuk rasa untuk mendirikan sebuah dewan nasional yang berkuasa, yang akan mencegah Saleh kembali berkuasa.
Tapi kepemimpinan Hadi pada kendali kekuasaan sangat dipertanyakan sebagai kerabat Saleh terus menjalankan sistem utama keamanan, terutama anaknya Ahmed, yang memimpin Garda Republik elit.
Pada hari Rabu, Hadi bertemu dengan perwakilan demonstran pemuda yang telah berkecamuk sejak akhir Januari 2011, yang menuntut penggulingan Presiden Saleh. Mereka mendesaknya untuk memberikan sikap yang jelas pada tuntutan mereka, dan memberinya waktu dua minggu untuk menanggapi.
Pertemuan diikuti pembicaraan antara Hadi dan oposisi parlemen di mana mereka sepakat menenangkan situasi sebagai langkah pertama dalam upaya menghidupkan kembali proses politik.
Washington hari Kamis (16/6) menyambut pembicaraan Hadi dengan oposisi, yang merupakan sekutu AS dalam perang melawan Al-Qaeda.
“Kami telah mendorong bahwa Wakil Presiden Hadi telah mulai beberapa penjangkauan kepada pihak oposisi dan mulai beberapa dialog,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Victoria Nuland.
Pengunjuk rasa pada hari Senin memberikan waktu 24 Jam kepada Hadi untuk menentukan sikap untuk bergabung dengan dewan yang mereka usulkan untuk memimpin negeri tersebut selama maksimal sembilan bulan.
Para aktivis mengatakan dewan akan “menunjuk tokoh nasionalis dan kompatibel untuk membentuk sebuah pemerintahan teknokrat.”
Mereka juga menyerukan pembubaran parlemen dan dewan konsultatif Yaman, dan memmbentuk sebuah komite untuk menyusun konstitusi baru, serta menentukan tanggal untuk mengadakan referendum terkait konstitusi dan pemilu.
Demonstrasi anti-Saleh terus terjadi di Yaman, mendesak pembentukan dewan sementara.
Demonstrasi juga digelar di Taez, kota terbesar kedua Yaman, Aden, Ebb, Hudayda, Mukalla dan kota-kota lainnya.
Di Taez, pengunjuk rasa mengadakan salat Jumat dan demonstrasi lanjutan di Freedom Square untuk pertama kalinya sejak tempat itu diserbu oleh pasukan keamanan pada 29 Mei dalam serangan yang mengakibatkan lebih dari 50 orang meninggal.
Presiden Saleh yang telah berkuasa sejak 1978, tetap menolak untuk mendukung proposal negara-negara Teluk agar mengundurkan diri sebagai imbalan untuk mendapatkan kekebalan parlemen terhadap penuntutan. (rasularasy/arrahmah.com)