Oleh: Dian Puspita Sari
Ibu Rumah Tangga, Member AMK
(Arrahmah.com) – Selama puluhan tahun, negeri ini sudah “akrab” dengan kriminalitas. Selama itu, sanksi yang diperlakukan atas pelaku kejahatan tak berefek jera apalagi penebus bagi dosa-dosa mereka di akhirat.
Kondisi kriminalitas terkini kian parah. Salah satunya kriminalitas penyimpangan seksual yang dilakukan predator seks terhadap anak-anak (pedofilia). Sanksinya, selain menimbulkan polemik, juga tanggung, setengah hati. Yaitu kebiri.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. PP itu tertuang dalam Nomor 70 Tahun 2020 yang ditetapkan Jokowi per 7 Desember 2020.
Dikutip dari JDIH laman Setneg, Ahad (3/1/2021), PP tersebut memuat tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Tujuan aturan diteken adalah untuk menekan dan mengatasi kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, juga sebagai efek jera terhadap predator seksual anak.
(viva.co.id, 3/1/2021)
Di negeri ini, kebiri dianggap sanksi tertinggi dan efektif untuk hentikan aksi biadab predator seksual. Benarkah demikian?
Padahal Aksi predator seksual ini dipicu banyak faktor. Seperti minus iman, gaya hidup sekuler dan liberal, ekonomi kapitalis, fasilitas kelayakan tempat tinggal, dan sanksi ringan tak berefek jera. Maka upaya untuk mengatasinya seharusnya komprehensif.
Sayangnya, tidak.
Hukum kebiri ini masih menjadi polemik di negeri mayoritas muslim.
Ulama yang setuju dengan hukuman kebiri lebih melihat aspek maslahat ketika hukum kebiri diterapkan. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis berpendapat, pemberian hukuman kebiri pada terpidana pedofilia bisa memberikan efek jera (zawajir).
Adapun pihak-pihak yang kontra dengan sanksi kebiri ini di antaranya:
- Mayoritas ulama klasik di dalam kitab-kitab klasiknya. Mereka mengharamkan kebiri untuk manusia. Di antaranya, Imam Ibnu Abdil Bar dalam Al Istidzkar (8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari (9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qari (20/72), Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkam Alquran (5/334), Imam Shan’ani dalam Subulus Salam (3/110), serta ulama-ulama fikih lainnya. Ibnu Hajar al-Asqalani dan Syekh Adil Matrudi dalam Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat bahkan menyebut haramnya kebiri untuk manusia sudah menjadi ijmak ulama.
-
Kalangan kontemporer, seperti Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur, Hizbut Tahrir, dan ulama kontemporer lainnya. Mereka berdalil, kebiri berarti mengubah fisik manusia, melanggar HAM, dan melahirkan jenis hukum baru yang tak pernah dikenal dalam konsep jinayah Islamiyah. Mereka yang kontra hukum kebiri ini berdalil dengan hadis Ibnu Mas’ud Ra yang mengatakan, “Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi saw. sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu, kami bertanya kepada Nabi SAW, ‘Bolehkah kami melakukan pengebirian?’. Maka Nabi saw. melarangnya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Selain hadis sahih yang tegas melarang pengebirian ini, ulama yang bersepakat dalam penetapan hukum Islam juga wajib merujuk pada hukum-hukum asal yang sudah ada. Kasus pemerkosaan bisa diambil dari hukum asalnya, yaitu perzinaan atau homoseksual. Jika pedofilia masuk dalam kategori perzinaan, maka hukumannya cambuk 100 kali atau rajam (bunuh).
Jika pelaku pedofilia tergolong “liwath” (homoseksual), maka ia dihukum mati. Jika sebatas pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai melakukan zina atau homoseksual, ia dihukum “takzir”.
Hukuman kebiri tidak dikenal dalam literatur hukum Islam. Padahal, pada zaman kuno sebenarnya sudah banyak tradisi kebiri ini. Misalnya, tradisi Kasim istana di Tiongkok kuno. Namun, model kebiri ini tidak diadopsi syariat Islam sebagai hukuman alternatif bagi aksi kejahatan seksual.
Selain itu, kebiri dengan suntikan kimiawi juga berdampak pada perubahan hormon testosteron menjadi hormon estrogen. Akibatnya, laki-laki yang mendapatkan hukuman ini akan berubah dan memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Syariat Islam jelas mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dari Ibnu Abbas Ra, “Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari).
Jika laki-laki menyerupai wanita diharamkan, maka wasilah yang menjadikan keharaman ini terlaksana juga diharamkan. Kaidah fikih mengatakan,
وما أدى إلى الحرام فهو حرام
“Apa saja yang dapat terlaksananya perbuatan haram, maka itu juga haram.”
Oleh sebab itu, pengesahan hukum kebiri terhadap pelaku pedofilia, selain terkategori tanggung, menuai polemik, juga menyalahi syariat yang telah ditetapkan Allah lewat nabi dan rasul-Nya.
Hukuman yang tepat adalah hukuman seberat-beratnya dalam Islam. Yakni sanksi yang diperlakukan terhadap pezina atau kaum homoseks.
Sanksi tegas berefek jera seperti ini mustahil diterapkan oleh negara sekuler, melainkan negara Islam dalam naungan khilafah.
Wallahu a’lam bishawwab.
(*/arrahmah.com)