JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak Pemerintah untuk meluruskan fakta sejarah terkait pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejarah yang saat ini diketahui masyarakat dinilai telah diputarbalikkan, dengan menempatkan NU pada posisi pelaku kejahatan pembunuhan.
Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Said Ali, mengungkapkan, sejarah yang menempatkan NU sebagai pelaku kejahatan melalui pembantaian anggota dan simpatisan PKI pada rentang 1965-1966 adalah fitnah yang sangat kejam.
“Jika ada yang mengatakan fitnah lebih kejam dari pembunuhan, itu benar. Dan NU dalam kaitan fakta sejarah sekarang merasakannya,” tegas As’ad dalam sambutannya di acara pembacaan kalimah tahlil dan doa bersama untuk kyai dan santri korban kekejaman PKI di gedung PBNU, Senin (1/10) malam.
Lanjut As’ad, sebelum terjadi tragedi 1965, pada tahun 1926 dan 1948 terlebih dahulu ribuan kyai dan santri tewas dibantai oleh PKI. Kebenaran fakta ini yang disebutnya tidak pernah terungkap dan diketahui oleh masyarakat.
“Kemarin dan hari ini, salah satunya di Madiun, ribuan orang menggelar acara serupa dengan di sini. Mereka mendoakan leluhurnya yang tewas dibunuh PKI,” ungkap As’ad gamblang.
As’ad mengatakan, selama 1948 hingga 1965 banyak santri terbunuh. Tetapi, menurutnya, fakta itu ditutupi dengan menyatakan konflik yang terjadi hanya manuver yang dilakukan TNI.
“Para penulis sejarah termakan oleh manipulasi buku putih yang dibuat Aidit. Tetapi, rakyat, ulama dan santri sebagai korban tetap mencatat dalam sejarahnya sendiri,” kata As’ad.
Lebih jauh mengenai upaya rekonsiliasi, As’ad mendesak pemerintah untuk mengungkap fakta sejarah yang sebenarnya. As’ad juga mengajak semua pihak untuk menatap ke depan, namun tetap tidak begitu saja meninggalkan kejadian di masa lampau.
“Dari acara-acara seperti ini, pemerintah harus merespon ini dengan benar, agar fakta sejarah yang sebenarnya bisa diketahui masyarakat. Kami siap membantu pemerintah untuk hal ini,” tandasnya.
As’ad juga menegaskan NU tidak akan meminta maaf atas terjadinya serangan balasan terhadap PKI ditahun 1965.
“NU mau memaafkan PKI sejauh mereka meminta maaf. Bukan permintaan maaf sepihak seperti mereka tuntut, karena justru kesalahan ada pada mereka dengan melakukan agitasi serta teror bahkan pembantaian,” pungkas As’ad.
Senada dengan As’ad terkait dorongan agar NU meminta maaf kepada keluarga anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban pembantaian tahun 1965, Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBH Andi Najmi Fuaidi, NU ditegaskannya siap meminta maaf, namun PKI didesak untuk terlebih dahulu melakukannya.
“Jadi saling memaafkan, bukan kami yang didesak meminta maaf. Kami ini juga korban. Dan yang harus diingat, apa yang dilakukan bagian dari NU di tahun 1965 adalah upaya pembelaan diri, bukan didorong semangat balas dendam,” tutup Andi. (bilal/arrahmah.com)