YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan, ancaman hukuman mati bagi koruptor harus dipertahankan sebagai bentuk kesungguhan upaya memberantas praktik tercela tersebut.
“Hukuman mati bagi koruptor harus dipertahankan,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj usai rapat pleno PBNU di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, Senin (28/3/2011).
Dalam revisi Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pasal yang mengatur mengenai ancaman hukuman mati bagi koruptor telah dihilangkan.
Ketua PBNU mengatakan, untuk memberantas praktik korupsi yang sudah mengakar di Indonesia, dibutuhkan kemauan yang kuat dan upaya yang sungguh-sungguh.
Sebagai bukti keseriusan dalam mendorong pemberantasan korupsi, kata Said Aqil, PBNU dalam Musyawarah Nasional di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta 2002 juga memutuskan perlunya hukuman mati bagi koruptor.
Bahkan, keputusan Munas juga melarang para kiai turut menshalati jenazah orang yang terbukti melakukan korupsi.
“Jenazah koruptor tetap dishalati kalau muslim, tapi para kiai diimbau tidak ikut menshalati,” katanya.
Rapat pleno PBNU dalam salah satu keputusannya menyebutkan, sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar, seharusnya NU memiliki peran yang besar dalam pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya politik uang.
“Peran ini harus dimulai dari jam`iyah NU dan warga nahdliyyin,” kata Wakil Sekjen PBNU Mun`I`m DZ saat membacakan rekomendasi dari komisi khusus pleno PBNU.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyayangkan dihilangkannya hukuman mati dalam revisi Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ancaman hukuman mati yang diberlakukan pada terdakwa kasus korupsi diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU tersebut.
“Penghilangan terhadap ancaman pasal ini merupakan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata peneliti ICW Donal Fariz di Jakarta, Minggu (27/3). (ant/arrahmah.com)