JAKARTA (Arrahmah.com) – Wacana pengaturan lebih detil terkait gratifikasi seks dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi harus diseriusi. Kalau perlu, hukuman kejahatan tersebut harus lebih berat dari gratifikasi berupa uang.
“Saya setuju. Itu tidak hanya sekedar kejahatan biasa, tapi menyangkut akhlak dan moralitas,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dalam rilisnya seperti dilansir Tribun di Jakarta, Selasa (15/1/2013).
Menurut Kyai Said, gratifikasi seks dinilai tidak sekedar melanggar peraturan-perundang-undangan, namun juga melanggar hukum Islam.
“Semisal (gratifikasi seks) itu pelakunya pejabat, dia sudah tidak layak lagi disebut pejabat, sudah tidak patut jadi pejabat negara, pemimpin bangsa. Uang saja haram, apalagi itu menyangkut seks,” tegas pria yang mengambil doktor dari Universitas Ummul Qura, Mekkah tersebut.
Atas dasar tingkat kejahatan yang dinilai lebih berat, Kiai Said meminta jika nantinya aturan tersebut diterbitkan disertai dengan penyebutan hukuman yang lebih berat. “Ada hukumannya sendiri, karena itu bisa disebut zina,” tambahnya.
Belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah membahas kemungkinan mengatur lebih detail gratifikasi seks dalam UU Tipikor. Sejauh ini gratifikasi yang tercantum dalam UU Tipikor terbatas dalam bentuk mata uang rupiah.
“Ke depan akan dibuat secara mendetail masalah gratifikasi seks agar mudah dipahami, (karena) beberapa instansi ragu apakah kenikmatan seks termasuk gratifikasi,” kata Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja dalam jumpa pers di KPK beberapa saat lalu. (bilal/arrahmah.com)