JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung pemberian kewenangan bagi intelijen untuk melakukan penangkapan terhadap orang atau kelompok yang dicurigai terkait terorisme.
“Pemerintah harus membuat Undang Undang Anti-terorisme yang mengigit. Beri peluang intel untuk menangkap orang yang dicurigai, tapi dengan tidak melanggar HAM,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam pertemuan dengan sepuluh organisasi kemasyarakat Islam di kantor PBNU di Jakarta, Kamis (28/4/2011).
Dalam pertemuan itu disepakati pembentukan Forum Persahabatan Ormas Islam. Kesepuluh ormas yang hadir adalah NU, Al Irsyad, Persis, Syarikat Islam Indonesia, Al Wasliyah, Mathlaul Anwar, Rabithah Alawiyah, Az Zikra, Al Itihadiyah, dan Perti.
Lebih lanjut Said Aqil mengatakan, dengan memiliki kewenangan menangkap, diharapkan tindakan pencegahan terhadap aksi terorisme bisa lebih efektif.
“Kita prihatin, mereka memiliki jaringan luas dan sistem yang baku,” kata Said Aqil.
Bahkan, lanjutnya, kelompok ini bukan hanya merekrut anggota dari kalangan masyarakat awam, namun juga dari kalangan terpelajar. Ia merujuk pada tertangkapnya belasan orang yang dicurigai terlibat bom buku dan bom Serpong yang beberapa diantaranya berstatus sarjana.
Menurut Said Aqil, jika radikalisme dibiarkan terus berkembang, maka akan merongrong eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kita ingin pemerintah tegas agar gerakan radikalisme bisa dihilangkan,” kata kiai alumni Universitas Ummul Qura Arab Saudi itu.
Seharusnya kewenangan untuk menangkap itu bukan ditujukan pada pihak yang dicurigai, tetapi pihak yang memang telah terbukti. Apalagi media dan tokoh masyarakat sendiri cenderung mengarahkan isu terorisme yang berkaitan dengan orang-orang yang berada dalam gerakan islam, yang kebanyakan mempertanyakan kesahihan Pancasila sebagai dasar Negara. Juga stigma media yang seolah mencap teroris itu dekat dengan gambaran orang berjenggot dan muslimah bercadar.
Jika kewenangan menangkap bisa diarahkan pada siapa saja “asal dicurigai” hal ini bisa menuntun Indonesia seperti masa PKI dulu. Dimana setiap orang yang dekat pun bisa jadikan objek penangkapan.
Biar bagaimanapun, kepastian dan pembuktian seseorang memang terlibat harus tetap diperhatikan, karena jika tidak demikian, bisa jadi suatu saat kelak, lelaki berjenggot, bercelana “ngatung”, dan wanita bercadar adalah sasaran empuk objek penangkapan. (rasularasy/arrahmah.com)