JENEWA (Arrahmah.com) – Kepala HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan pada Selasa (13/4/2021) bahwa kemungkinan kejahatan kemanusian di Myanmar dapat menuju konflik besar, seperti perang yang melanda Suriah.
Kantor HAM PBB mendesak negara-negara untuk mengambil tindakan segera dan tegas terhadap para jenderal militer yang berada di balik kudeta Myanmar 1 Februari, agar berhenti dalam “kampanye penindasan dan pembantaian rakyatnya”.
“Saya khawatir situasi di Myanmar sedang menuju konflik besar-besaran,” kata Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, dalam pernyataan itu, seperti yang dilansir dari AFP pada Selasa (13/4).
“Negara tidak boleh membiarkan kesalahan mematikan di masa lalu, di Suriah dan di tempat lain terulang kembali,” lanjutnya.
Myanmar berada dalam kekacauan dan ekonominya lumpuh sejak militer merebut kekuasaan dari pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.
Tindakan keras junta militer terhadap perbedaan pendapat telah mengakibatkan korban tewas sipil mencapai setidaknya 710 pada Senin malam (12/4), termasuk 50 anak, menurut kelompok pemantau setempat.
Sementara itu, kelompok pemberontak bersenjata etnis telah meningkatkan serangan terhadap militer dan polisi dalam beberapa pekan terakhir, meningkatkan kekhawatiran Myanmar yang berkembang menjadi konflik sipil yang lebih luas.
Kemudian, militer membalas dengan serangan udara yang dilaporkan telah membuat ribuan warga sipil mengungsi.
“Militer tampaknya bermaksud untuk meningkatkan kebijakan kekerasannya yang kejam terhadap rakyat Myanmar, menggunakan persenjataan kelas militer dan tanpa pandang bulu,” kata Bachelet.
“Ada gema yang jelas tentang Suriah pada 2011,” ujar Bachelet memperingatkan tentang dimulainya Perang Saudara yang selama dekade terakhir, telah menewaskan hampir 400.000 orang dan memaksa lebih dari 6 juta orang meninggalkan negara Suriah.
“Di sana juga, kami melihat protes damai bertemu dengan kekuatan yang tidak perlu dan jelas tidak proporsional,” lanjutnya.
“Represi negara yang brutal dan terus-menerus terhadap rakyatnya sendiri menyebabkan beberapa individu mengangkat senjata, diikuti oleh spiral kekerasan yang menurun dan meluas dengan cepat di seluruh negeri,” ungkapnya.
Bachelet menunjukkan bahwa pendahulunya Navanethem Pillay telah memperingatkan pada 2011 “bahwa kegagalan komunitas internasional untuk menanggapi dengan tekad yang bersatu bisa menjadi bencana bagi Suriah dan sekitarnya.
“Sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan betapa mengerikan konsekuensinya bagi jutaan warga sipil,” katanya.
Bachelet menunjuk ke “laporan yang dapat dipercaya” yang mengindikasikan bahwa pasukan militer Tatmadaw Myanmar melepaskan tembakan dengan granat berpeluncur roket, granat fragmentasi dan tembakan mortir di kota Bago selatan akhir pekan lalu.
Setidaknya 82 pengunjuk rasa anti-kudeta Myanmar dilaporkan tewas dalam tindakan keras brutal itu.
Pasukan keamanan juga dilaporkan mencegah personel medis membantu yang terluka dan mendenda kerabatnya dengan “denda” sekitar 90 dollar AS untuk mengklaim mayat mereka yang tewas, kata kantor hak asasi PBB.
Pada saat yang sama, katanya, setidaknya 3.080 orang saat ini ditahan di seluruh negeri, sementara 23 orang dilaporkan telah dijatuhi hukuman mati setelah persidangan rahasia, termasuk empat pengunjuk rasa dan 19 lainnya dituduh melakukan pelanggaran politik dan pidana.
Bachelet mendesak masyarakat internasional untuk mengambil tindakan. “Peranyataan kecaman, dan sanksi terbatas yang ditargetkan, jelas tidak cukup,” kata mantan presiden Chili itu. (hanoum/arrahmah.com)