JENEWA (Arrahmah.id) – Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan pada Jumat (30/6/2023) bahwa pihaknya telah memperbarui daftar perusahaan yang melakukan bisnis dengan permukiman “Israel”, menghapus 15 perusahaan dari database yang tidak lagi terlibat tetapi mempertahankan sebagian besar perusahaan internasional.
Pembaruan yang telah lama ditunggu datang pada saat gelombang kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki dalam 15 bulan terakhir, termasuk serangan mematikan tentara “Israel” di kota-kota seperti Jenin dan amukan oleh kelompok pemukim di desa-desa Palestina.
Namun, daftar PBB terbatas cakupannya karena pembatasan anggaran dan kantor Hak Asasi PBB hanya dapat meninjau daftar asli dari 112 perusahaan, kata juru bicara Ravina Shamdasani dalam konferensi pers.
Sebagian besar perusahaan yang disebutkan dalam database bukan saja yang ketika didirikan berdomisili di “Israel”, tetapi juga termasuk perusahaan internasional yang terdaftar di Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.
Pembuat makanan kemasan General Mills adalah salah satu dari hanya dua perusahaan internasional yang dihapus dari daftar. Di antara yang tersisa adalah situs perjalanan online Booking.com dan Expedia serta perusahaan persewaan rumah Airbnb.
Tak satu pun dari perusahaan yang tersedia untuk dimintai komentar. Kantor Hak Asasi PBB mengatakan bahwa hanya 13 dari 112 perusahaan yang terdaftar bekerja sama dalam pembaruannya, tanpa menyebutkan nama mereka.
“Dengan memperbarui daftar ini, sayangnya sekali lagi [Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia] dan Dewan Hak Asasi Manusia semakin memantapkan diri mereka sebagai aktor parsial di wilayah tersebut, melayani mereka yang mengejar agenda diskriminatif terhadap “Israel”,” kata perwakilan misi diplomatik “Israel” di Jenewa.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak versi sebelumnya, seperti yang dilakukan Washington, yang telah lama memprotes dugaan “perhatian yang tidak proporsional” yang diberikan kepada “Israel” oleh dewan yang berbasis di Jenewa.
Basis data tersebut diamanatkan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 2016 tetapi tidak dirilis hingga 2020.
Kelompok masyarakat sipil mengatakan database adalah alat penting untuk memastikan transparansi seputar kegiatan bisnis di Tepi Barat dan untuk mendorong perusahaan memikirkan kembali kegiatan mereka di wilayah pendudukan.
Namun, Human Rights Watch mengatakan sangat mengecewakan bahwa PBB gagal melakukan pekerjaan yang diperlukan untuk mengidentifikasi bisnis tambahan dan menyerukan penyelidikan untuk dilanjutkan. (zarahamala/arrahmah.id)