DOHA (Arrahmah.id) – Imarah Islam Afghanistan (IIA) sebagai penguasa resmi Afghanistan absen dari pembicaraan yang dipimpin PBB yang dibuka Senin (1/5/2023) di Qatar tentang bagaimana menangani penguasa Afghanistan dan bagaimana menekan mereka untuk melonggarkan larangan perempuan bekerja dan anak perempuan ke sekolah.
Utusan dari Amerika Serikat, Cina dan Rusia serta donor bantuan utama Eropa dan tetangga utama seperti Pakistan termasuk di antara perwakilan dari sekitar 25 negara dan kelompok yang dipanggil untuk pembicaraan dua hari oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Namun, anehnya pemerintah IIA justru tidak diundang, dan menjelang pertemuan tersebut, pertanyaan tentang pengakuan pemerintah semakin besar.
Sekelompok kecil wanita Afghanistan melakukan aksi protes pada akhir pekan di Kabul untuk menentang setiap langkah yang mengakui para penguasa yang kembali berkuasa pada Agustus 2021.
Dalam sebuah surat terbuka untuk pertemuan Doha yang dirilis Ahad (30/4), koalisi kelompok perempuan Afghanistan mengatakan mereka “marah” karena negara mana pun akan mempertimbangkan hubungan formal karena catatan pemerintah yang mengatakan penanganan hak-hak perempuan adalah “masalah sosial internal.”
“Pengakuan apapun terhadap Taliban benar-benar tidak masuk akal,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel pekan lalu.
Sejak menggulingkan pemerintah yang didukung asing pada 2021, otoritas Taliban telah memberlakukan hukum syariah yang oleh PBB diberi label “apartheid berbasis gender”.
Perempuan telah dilarang dari sebagian besar pendidikan menengah dan universitas, dan dilarang bekerja di sebagian besar pekerjaan pemerintah serta badan-badan PBB dan LSM.
Amina Mohammed mengatakan “jelas” bahwa otoritas IIA menginginkan pengakuan. Ikatan formal PBB akan membantu pemerintah memperoleh kembali miliaran dolar dari dana yang sangat dibutuhkan yang disita di luar negeri setelah mengambil alih kekuasaan.
Namun para diplomat dari beberapa negara yang terlibat dalam pembicaraan Doha mengatakan hal itu tidak akan mungkin terjadi sampai ada perubahan pada hak-hak perempuan. Kementerian luar negeri Afghanistan mengatakan setelah pemungutan suara PBB pekan lalu bahwa “keberagaman harus dihormati dan tidak dipolitisasi”.
Sekjen PBB akan memberikan pembaruan pada pertemuan Doha tentang tinjauan operasi bantuan kritis badan dunia di Afghanistan, yang diperintahkan pada bulan April setelah pihak berwenang menghentikan wanita Afghanistan untuk bekerja dengan badan-badan PBB, kata para diplomat.
PBB mengatakan pihaknya menghadapi “pilihan yang mengerikan” mengenai apakah akan mempertahankan operasi besarnya di negara berpenduduk 38 juta itu. Peninjauan dijadwalkan akan selesai pada Jumat (5/5). (zarahamala/arrahmah.id)