BOGOR (Arrahmah.com) – Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dengan tema Merangkai Gagasan Membangun Harapan Dalam Peta Baru Gerakan Pelajar pada Jumat hingga Ahad (10-12/9/2021) di Bogor.
Pada kesempatan ini, PB PII menyoroti ada beberapa catatan kritis terhadap pemerintahan hari ini, terkhusus kepada kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang dipimpin oleh Mas Menteri Nadiem Makarim.
Hal ini disampaikan atas ketidakmampuan atau ketidaksiapan Kemendikbud Ristek dalam mengatasi darurat pendidikan akibat pandemi Covid-19. Sebagaimana yang diketahui bahwa Pandemi Covid-19 menimbulkan multi dimensi, termasuk sektor pendidikan.
Mengingat pendemi ini melanda Indonesia mulai Maret 2020 sampai hari ini hampir 2 tahun, PB PII menilai tidak ada kebijakan dari Mas Menteri Nadiem Makarim sebagai solusi kongkrit yang bisa mengatasi masalah pendidikan kita saat ini, malah sebaliknya membuat ketimpangan semakin terjadi. Padahal apabila penanganan terhadap pendidikan tidak ditangani dengan serius akan merambah pada krisis sosial, sedangakan krisis sosial jika tidak dikontrol maka akan merambat pada krisis peradaban masa depan umat manusia.
Dampak dari pandemi Covid-19 memunculkan kebijakan pemerintah pada pembatasan sosial. Akibat pandemi semua harus dari rumah, ada jarak, tidak boleh berkerumun. Di sektor pendidikan, kebijakan yang muncul adalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). PJJ ini dirasa aman dan diperlukan karena kondisi pandemi demi keselamatan bersama. Namun, hal ini tidak diikuti dengan penyelesaian masalah sarana prasarana penunjang pembelajaran. Misalnya, tidak diikuti dengan adanya kebijakan untuk menyelesaikan wilayah-wilayah yang tidak ada jaringan, masyarakat yang tidak bisa membeli telepon seluler, kuota dan seterusnya. Pada akhirnya kebijakan yang muncul (PJJ) justru membuat pendidikan semakin timpang.
Belum lama ini kita mendengar berita di media sosial, Mas Menteri Nadiem Makarim, membuat kebijakan bagi-bagi laptop dengan anggaran 17 T. PB PII berharap penggunaan anggaran yang besar tersebut tidak mengendap dan melebar kemana-mana serta meminta KPK mengawasi dengan ketat penggunaan anggaran tersebut agar tepat sasaran.
Namun, PB PII tetap menyayangkan penggunaan anggaran 17 T untuk kebijakan bagi-bagi laptop dirasa kurang tepat, berdasarkan data dari Kominfo, masih ada 11% wilayah Indonesia yang tidak teraliri sinyal internet. Berdasarkan sumber yang sama, ada 12.548 desa yang belum tersentuh jaringan internet. Anggaran sebesar itu baiknya digunakan untuk mengatasi masalah dasar, pengadaan jaringan internet dan listrik. Sebagai penunjang kebijakan Kemendikbud Ristek yang bisa dirasakan dan merata manfaatnya bagi semua kalangan, terutama pelaksanaan PJJ.
Apalagi mengingat kebijakan bagi-bagi laptop ternyata hanya diperuntukkan pada masyarakat yang ada jaringan internet dan teraliri listrik. Jangan sampai kebijakan ini terkesan memanjakan kelompok masyarakat menengah atas yang ada di perkotaan dan menindas masyarakat menengah bawah di pedesaan. Kelompok menengah atas yang ada di perkotaan dapat menikmati dengan baik, karena ada ponsel, kuota dan jaringan yang lancar. Namun bagaimana dengan masyarakat yang ada di pelosok wilayah-wilayah yang belum teraliri listrik dan jaringan. Sementara mereka juga terdampak kebijakan PJJ. Sebelum pandemi, ketimpangan pendidikan sudah dirasakan oleh masyarakat yang ada di kota dan di pelosok desa, ditambah dengan pandemi covid-19.
Kebijakan yang dimunculkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim dirasa tidak solutif, yang berdampak pada ketimpangan pendidikan semakin besar.
Disisi lain, PB PII menolak Permendikbud Ristek no 6 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler pasal 3 ayat 2 (d) berbunyi “memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 (enam puluh) peserta didik selama 3 (tiga) tahun terakhir”. PB PII menilai kebijakan ini adalah kebijakan diskriminatif terhadap sekolah yang tidak memenuhi 60 siswa dalam 3 tahun terakhir.
“Apakah mereka tidak bisa mendapatkan dana bos? Padahal harusnya ini menjadi perhatian oleh pemerintah untuk mendukung pendidikan yang harus dilaksanakan seluruh warga negara dengan merata. Sehingga pembatasan 60 siswa ini harusnya di tolak, dan PB PII Menolak pembatasan tersebut,” ujar pernyataan PB PII.
Pandemi juga berdampak pada sektor ekonomi yang berakibat banyaknya masyarakat yang tidak bekerja. Hal ini menjadi salah satu faktor, orang tua mahasiswa mengeluhkan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dirasa oleh orang tua/wali masih tinggi dan mahal. Tentunya PB PII berharap ada niat baik Mas Menteri Nadiem Makarim untuk meringankan beban pendidikan kepada orang tua/wali demi berlangsungnya jenjang pendidikan yang baik.
PB PII mendukung dengan pemberlakuan Pembelajaran Tatap Muka (PTM), kebutuhan PTM dianggap perlu untuk segera dilakukan, mengingat sudah lebih 3 (tiga) semester pendidikan mengalami Learning Loss. PB PII berharap ada jaminan kesehatan bagi pelajar mengingat hanya ada jaminan kesehatan bagi pendidik. Namun tidak bagi peserta didik.
PB PII khawatir terhadap kondisi pendidikan kita yang sudah Learning Loss, tidak ada pelajaran tatap muka, mengakibatkan kekhawatiran pada ‘Generation Loss’. Jika itu berkelanjutan maka masa depan bangsa kita akan terancam, semakin terancam ketika kebijakan Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud Ristek RI yang dipimpin oleh Mas Menteri Nadiem Makarim kebijakannya tidak merata dan berkeadilan. Bertentangan dengan sila ke 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan pendidikan harus merata dan berkeadilan.
“Maka PB PII menyatakan mosi tidak percaya kepada kemendikbud apabila kebijakan yang diambil tidak kongkrit dan tidak tepat sasaran,” tutup pernyataan PB PII. (haninmazaya/arrahmah.com)