CALAIS (Arrahmah.com) – Pasangan asal Malaysia, Jamal Ismail dan Sofinee Harun, sudah setahun berada di Calais untuk membantu para pengungsi yang berada di sana.
Setiap hari, sejak matahari terbit sampai matahari tenggelam, mereka berdua memberikan makanan gratis untuk 1.500 orang yang berada di kamp.
Mereka bersama para relawan yang lainnya tanpa pernah merasa lelah terus melayani setiap orang yang berada dalam antrean panjang yang ingin mendapatkan makanan.
“Kami hanya tidak bisa pulang. Kami tahu bahwa begitu banyak orang yang tiba (di kamp pengungsi). Ada perempuan dan anak-anak, ada keluarga, ada orang-orang yang anak-anaknya kelaparan,” ujar Sorinee Harun.
“Mereka bergantung kepadamu. Adalah menyedihkan ketika berpikir bahwa mereka tidak akan mendapatkan makanan yang kamu masak,” tambahnya sebagaimana dilansir Independent (1/9/2016).
Masalah yang dialami di kamp Calais semakin lama semakin pelik. Menurut polisi, jumlah pengungsi diperkirakan akan lebih dari 10.000 orang dalam beberapa minggu ke depan. Sementara donasi bisa dibilang kurang.
Sensus terbaru mengatakan bahwa hampir 900 anak-anak tinggal di kamp Calais yang berada di hutan. Hampir 80 persen dari anak-anak itu sendirian tanpa sanak-keluarga.
Ketika pertama kali tiba di kamp Calais, mereka berdua terkejut melihat kondisi kamp tersebut.
“Hampir semua orang tinggal di tenda-tenda,” katanya. “Saat itu hujan dan banjir. Ketika hujan mereka tidak bisa memasak karena mereka harus memasak dengan menggunakan kayu bakar.”
Cukup mengejutkan ternyata di Eropa, ada orang-orang yang harus hidup di kamp, tanpa listrik dan tanpa air yang bersih.
“Di Malaysia pada 1970-an, ketika saya masih kecil mungkin ada beberapa desa terpencil yang seperti itu. Itu sekitar 30 tahun lalu, dan Malaysia bukanlah negara maju,” ujarnya.
Setelah melihat apa yang terjadi pada kunjungan pertama mereka di kamp Calais, Ismail, yang seorang insinyur, memasang kompor gas sehingga para pengungsi bisa mendapatkan makanan hangat.
“Jika Anda pergi berkemah selama seminggu, memiliki makanan dingin adalah masalah yang biasa,” kata Sofinee Harun. “Namun, ketika Anda tinggal untuk waktu yang lama, itu sangat menyedihkan.”
“Menjadi orang asing di negeri asing, aku tahu betapa pentingnya makanan.”
Karena mereka berdua berasal dari Malaysia, otomatis makanan yang dimasak di kamp Calais terpengaruh dengan citarasa makanan Malaysia. Namun, Sofinee Harun mengatakan banyak orang di kamp yang berasal dari Eritrea, Pakistan, Suriah, Iran, dan lain-lain, merasa familier dengan makanan tersebut.
“Di Malaysia, kami memiliki budaya yang sangat beragam. Kami memiliki orang-orang Melayu dan ada juga yang berlatar belakang India dan China, makanannya selalu sangat beragam,” katanya.
Kehadiran pemukiman sementara di Calais telah menjadi isu kontroversial dalam politik Perancis. Walikota Calais juga berulang kali mengancam akan menghancurkan kamp tersebut.
(fath/arrahmah.com)