BANGUI (Arrahmah.com) – Empat pemuda Muslim gugur di ibukota Republik Afrika Tengah (CAR), Bangui, selama akhir pekan, di antara mereka seorang putra dan seorang saudara dari pemimpin penting masyarakat, walikota distrik Arrondissement. Teman dan kerabat mereka bertanya-tanya, mengapa pasukan “penjaga perdamaian” internasional tidak secara permanen ditempatkan di garis depan antara komunitas mereka dengan distrik tetangga yang bermusuhan?
Penggali kubur mempersiapkan lubang di halaman rumah Atehirou Balladodo. Jenazah anak dan saudara sang walikota tidak bisa dikubur di pemakaman Muslim karena terletak di distrik tetangga di Boeing yang sekarang dikendalikan oleh kekuatan musuh.
Pada Ahad (23/3/2014), ratusan orang dari teman-teman dan kerabat korban menghadiri upacara pemakaman. Dua pemuda lainnya juga meninggal dunia di hari yang sama. Keempatnya adalah bagian dari pasukan pertahanan dari kaum Muslim di CAR. Balladodo mengatakan mereka memanggil selama tiga kali pada Sabtu (22/3) untuk menanggapi ancaman, lapor VOA.
“Serangan pertama adalah pukul 6.00 pagi, yang kedua 10.30 dan terakhir 13.30 ketika anak-anak saya pergi lagi. Pasukan Uni afrika tiba di tempat kejadian untuk serangan pertama dan begitu pula pasukan Perancis datang pada pukul 10 pagi, tapi mereka tidak ada ketika serangan ketiga datang-ketika dua anak laki-laki meninggal,” ujar Balladodo.
Seorang kerabat, Mahamadou Baba, mengatakan pasukan Perancis yang dikenal dengan Sangaris, seharusnya merespon lebih kuat.
“Sangaris berada di sana dan mereka ditembaki oleh militan anti-Balaka dan pasukan bekas tentara CAR. Mereka menembak kembali dan maju ke distrik Boeing dan tinggal selama beberapa jam di daerah itu dengan helikopter terbang di atas mereka, tapi saya tidak mengerti mengapa para milisi tidak juga pergi,” ujarnya.
“Kami heran, mengapa tidak ada kehadiran permanen Sangaris atau MISCA (Uni Afrika) di distrik kami, karena itulah hotspot di mana sebagian besar serangan berasal.”
Hanya ada sekitar 10.000 sampai 15.000 Muslim yang tersisa di Bangui dari sekitar 150.000 orang sebelum kekerasan meletus di tahun lalu. Dan hampir semua dari mereka dipaksa tinggal di ghetto atau yang dikenal dengan Kilometre Cinq distrik Arrondissement.
Seorang juru bicara Sangaris, Letkol Thomas Mollard mengakui bahwa saat ini Sangaris tidak memiliki basis di Arrondissement. Misca pun sama, mengakui bahwa basis mereka tidak di sisi yang menghadap distrik Boeing yang penduduk setempat mengatakan itu adalah garis depan.
Ditanya mengapa pasukan internasional tidak secara permanen di wilayah itu, Letkol Mollard berdalih bahwa CAR adalah negara rumor sementara orang-orang lokal mungkin menganggap ancaman berasal dari distrik Boeing, tetapi para penyerang mungkin sebenarnya berasal dari distrik lain. (haninmazaya/arrahmah.com)