YERUSALEM (Arrahmah.id) – Pasukan ‘Israel’ menyerbu Masjid Al-Aqsa dan memaksa jamaah Muslim keluar. Serangan itu terjadi pada malam pertama Ramadhan, meskipun 70.000 Muslim berkumpul untuk shalat Tarawih.
Wakaf Islam memperkirakan bahwa sebagian besar jamaah berasal dari Yerusalem dan wilayah yang diduduki pada tahun 1948. Sementara itu, otoritas ‘Israel’ memblokir ribuan orang dari Tepi Barat yang diduduki untuk memasuki masjid suci tersebut.
‘Israel’ telah mengumumkan larangan bagi tahanan Palestina yang dibebaskan, mencegah mereka beribadah di masjid Al-Aqsa.
Bulan lalu, pasukan ‘Israel’ meningkatkan pelanggaran, termasuk penghancuran rumah, serangan terhadap pemukim, dan penangkapan massal. Pihak berwenang ‘Israel’ juga mengeluarkan perintah untuk mengusir warga Palestina dari masjid tersebut.
Para pemukim meningkatkan serangan mereka ke masjid Al-Aqsa. Pada Februari saja, 4.464 pemukim menyerbu situs Islam tersebut di bawah perlindungan militer. Beberapa melakukan ritual keagamaan, termasuk doa sambil berlutut. Dua menteri luar negeri, dari Argentina dan Thailand, menyerbu masjid untuk melakukan ritual di Tembok Buraq dan bergabung dengan para pemukim di dekat Al-Aqsa. Para pemukim juga meniup shofar di dekat Gerbang Damaskus.
Meskipun ada pembatasan, 170.000 jamaah menghadiri shalat Jumat di masjid Al-Aqsa selama Februari. Namun, ‘Israel’ memberlakukan pembatasan lebih lanjut selama Ramadhan. Pihak berwenang memasang penghalang di sekitar Kota Tua dan melarang mantan tahanan memasuki masjid.
‘Israel’ mengerahkan 3.000 polisi setiap hari, dari pos pemeriksaan perbatasan hingga Al-Aqsa. Pihak berwenang membatasi shalat Jumat hanya untuk 10.000 warga Tepi Barat. Hanya pria berusia di atas 55 tahun dan wanita berusia di atas 50 tahun yang boleh hadir, dan mereka hanya boleh tinggal untuk salat Dzuhur dan Ashar. Sebagai tanggapan, warga Palestina menyerukan pertemuan massal di Al-Aqsa untuk menentang pembatasan tersebut.
Pasukan ‘Israel’ menghancurkan 22 bangunan milik warga Palestina pada Februari di ibu kota Palestina yang diduduki. Pihak berwenang memaksa penduduk untuk menghancurkan lima bangunan sendiri. Penghancuran tersebut menargetkan rumah, bisnis, dan lahan pertanian.
Kerusakan tersebut memengaruhi beberapa wilayah, termasuk Jabal Al-Mukabber, Issawiya, dan Silwan. Pasukan ‘Israel’ juga mengeluarkan puluhan perintah pembongkaran di beberapa lingkungan, termasuk Sheikh Jarrah dan Abu Dis.
Pasukan ‘Israel’ juga menculik 75 warga Palestina pada Februari, termasuk 11 anak-anak dan tiga wanita. Seorang tahanan, Bayan Al-Ja’ba, sedang hamil sembilan bulan saat diculik. Pihak berwenang kemudian membebaskannya dengan status tahanan rumah.
Pengadilan ‘Israel’ menjatuhkan 25 hukuman penjara, termasuk 13 penahanan administratif. Hukuman terberat adalah 27 tahun penjara untuk Ahmed Nasla, yang kemudian dibebaskan melalui pertukaran tahanan. Pengadilan juga menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara kepada Muhammad Al-Zalbani yang berusia 18 tahun.
Pihak berwenang mengeluarkan 63 perintah pengusiran, termasuk 35 perintah yang melarang warga Palestina memasuki Yerusalem dan 21 perintah yang melarang warga Palestina memasuki Al-Aqsa. Banyak perintah yang ditujukan kepada tahanan yang dibebaskan, aktivis, dan jurnalis. Tujuannya adalah untuk menjauhkan mereka dari masjid selama bulan suci Ramadan.
Sementara itu, otoritas ‘Israel’ terus memperluas permukiman di bagian timur Yerusalem yang diduduki. Para pejabat menolak banding terhadap perintah penggusuran di Sheikh Jarrah dan Wadi Hilweh. Otoritas Alam juga menyita pemakaman bersejarah Palestina di Silwan, dan menyatakannya sebagai tanah publik.
‘Israel’ menyita tanah di Wadi Al-Joz dan Wadi Al-Rababa, dengan alasan ‘proyek lingkungan’. Sementara itu, para pemukim dan otoritas ‘Israel’ melakukan pekerjaan penggalian di Ain Silwan, sebagai bagian dari upaya mengubah lanskap bersejarah kota tersebut. (zarahamala/arrahmah.id)