PARIS (Arrahmah.com) – Paspor Suriah yang ditemukan di dekat dua mayat dari tersangka serangan Paris adalah palsu. Paspor tersebut kemungkinan dibuat di Turki, sumber-sumber kepolisian di Perancis mengatakan kepada Channel 4 News, Ahad (15/11/2015), sebagaimana dilansir oleh Middle East Eye.
Para pejabat Yunani mengatakan pada Sabtu (14/11) bahwa salah satu dari dua paspor itu telah dipegang oleh seseorang yang telah terdaftar sebagai pengungsi di pulau Yunani Leros pada 3 Oktober..
Akan tetapi pejabat itu membantah bahwa pelaku yang kedua telah mengambil rute yang sama. Pejabat itu mengatakan kepada The Guardian bahwa tidak ada indikasi apapun bahwa pelaku itu telah memasuki Eropa melalui Yunani. Komentar itu muncul di tengah pelebaran penyelidikan terkait serangan yang menewaskan 132 orang di ibukota Perancis pada Jum’at (13/11).
Pihak berwenang di seluruh Eropa terus menyelidiki identitas tujuh pelaku penyerangan di tengah pertanyaan tentang bagaimana mereka berhasil mengkoordinasikan beberapa serangan, yang sejak itu telah diklaim oleh kelompok ISIS, tanpa menjadi perhatian pihak keamanan Paris.
Hanya satu dari pelaku penyerangan yang namanya belum dipublikasikan, di tengah upaya yang berkelanjutan untuk mengidentifikasi korban. Perdana Menteri Perancis Manuel Valls mengatakan pada Ahad (15/11) bahwa jenazah dari 30 korban tewas dalam serangan itu belum diidentifikasi.
Pihak berwenang pada Ahad menyebut nama pelaku penyerangan sebagai Omar Ismail Mostefai, orang Perancis, usia 29 tahun, lahir dan dibesarkan di Paris tetapi memiliki hubungan keluarga di Aljazair.
Sepak terjang Mostafai belum dipublikasikan, meskipun demikian para pejabat intelijen Inggris telah mengatakan bahwa para pelaku penyerang itu adalah bagian dari sel yang baru saja kembali dari pertempuran di Suriah.
Paspor palsu Suriah telah menjadi komoditas yang berharga dalam beberapa bulan terakhir dan bebas diperdagangkan di pasar gelap, karena mereka dapat membantu meringankan jalan bagi non-Suriah untuk mendapatkan perlindungan sebagai pengungsi di Eropa.
Seorang wartawan Belanda melaporkan pada bulan September bahwa ia telah membeli paspor Suriah dan Kartu Identitas palsu, keduanya bergambar perdana menteri Belanda, seharga 825 dolar AS.
Paspor palsu Suriah juga dibeli oleh orang Suriah yang belum mampu untuk mendapatkan dokumen karena perang.
Chris Doyle, kepala Dewan untuk Arab-Inggris Understanding, mengatakan bahwa banyak permintaan terhadap paspor palsu karena banyak warga Suriah yang tinggal di luar daerah yang dikuasai pemerintah yang secara efektif tanpa kewarganegaraan dimana mereka kesulitan memperoleh dokumen.
Di tengah tragedi serangan Paris, banyak komentator yang mempertanyakan mengapa para pelaku membawa paspor selama serangan yang sangat terkoordinasi itu.
Simon Kuper, seorang kolumnis di Financial Times dan juga seorang warga Paris, mengatakan langkah itu bisa menjadi bagian dari strategi oleh ISIS untuk “mendiskreditkan” pengungsi dan memaksa Eropa untuk menutup perbatasannya.
Serangan yang terjadi pada Jum’at itu mendorong pihak berwenang di Eropa bertindak cepat untuk memperketat kontrol perbatasan, dimana Presiden Prancis Francois Hollande segera mengumumkan untuk memperbaharui pemeriksaan perbatasan.
Akan tetapi, Presiden Komisi Uni Eropa, Jean-Claude Juncker, mengatakan pada Ahad (13/11) bahwa Eropa tidak perlu meninjau kebijakan mengenai pengungsi secara keseluruhan di tengah peristiwa itu.
“Mereka yang mengorganisir [dan melakukan] serangan adalah orang-orang yang sama yang menyebabkan para pengungsi melarikan diri dan bukan sebaliknya,” kata Juncker mengatakan kepada wartawan di Turki saat ia siap untuk menghadiri pertemuan puncak G20.
(ameera/arrahmah.com)