Kamis lalu, keluarga, kawan-kawan, dan wakil masyarakat lokal mengurus pesta perkawinan tidak biasa di Gaza. Pesta tersebut diadakan di kamp pengungsi yang baru saja didirikan, di Jabaliya, sebelah utara Jalur Gaza.
“Istri saya dan saya bermaksud menikah di tempat saya, yang telah kami lengkapi dengan beberapa perabot sesaat sebelum perang Israel di Gaza.” Sekarang, seperti yang anda lihat, kami terpaksa tinggal di tenda ini di kamp al-Rayyan,” ujar Ahmad al-Hersh.
“Kami tidak punya pilihan lain; setelah perang, ada begitu banyak kesukaran untuk menemukan rumah kontrakan, karena permintaan lebih tinggi daripada sebelumnya. Eman, istri saya, awalnya keberatan tetapi kemudian dia setuju karena kami tidak punya pilihan lain. Dan terima kasih kepada yang membantu perkawinan kami,” tuturnya sembari duduk di kamar tidur tendanya.
Ahmad dulu hidup di rumah berlantai tiga di al-Khulafa, Jabaliya, sebelum dibom oleh pesawat perang Israel selama pengepungan Gaza 22 hari. Tenda di mana pasangan Palestina yang baru sudah menikah itu akan hidup sudah terdapat tempat tidur, meja, lemari dan kamar mandi kecil.
Ahmad menerangkan bahwa “Saya tidak benar-benar senang tetapi apa mau dikata. Tetapi saya berharap rekonstruksi Gaza segera dilakukan, oleh sebab itu saya dan yang lainnya mendapat keringanan. Saya adalah korban perang Israel.”
Menurut KOmite Internasional Palang Merah dan Masyarakat Red Crescent Palestina, meriam dan peluru Israel selama pengepungan 22 hari menghancurkan lebih dari 2.800 rumah dan merusak 1.900 lainnya, juga membiarkan puluhan ribu orang menjadi tunawisma. Untuk mengakomodasi jumlah besar warga Palestina yang tergusur secara intern, sejumlah kamp pengungsi kecil sudah didirikan di tempat-tempat berbeda di Jalur Gaza, sebagian besar di utara Gaza, melalui bantuan organisasi internasional seperti agen PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA). Tenda istimewa Ahmad dibiayai dari dermawan lokal di Jabaliya, via dana bantuan Kuwait.
Rekonstruksi Gaza akan segera dimulai, setelah beberapa negara donor menyelesaikan konferensi internasional di Mesir minggu yang akan datang. Rekonstruksi diperkirakan memerlukan sekurang-kurangnya 2 milyar dolar AS. Hambatan utama proses rekonstruksi adalah blokade Israel di daerah kantong pantai selama lebih dari 20 bulan. Hal itu telah menyebabkan kurangnya bahan konstruksi di Gaza, menghalangi pembangunan rumah di wilayah pelosok.
Rumah istri Ahmad yang berusia 18 tahun, Eman Abdelal, rusak karena serbuan Israel. Ahmad menggambarkan reaksi istrinya menghadapi perkawinannya di tenda: “Rumahmu hancur, rumah saya juga, kemana kita bisa pergi? Kita tidak mampu membayar sewa rumah yang melambung saat ini.” Dia menambahkan, “Alhamdullilah untuk tenda ini. Sampai kapan kami akan tinggal pengungsi di tenda? Saya menanti-nanti istri saya dan saya bisa tinggal di rumah yang lebih baik.
Juru bicara UNRWA Sami Mshasha, berbicara lewat telepon dari Yerusalem mengatakan bahwa banyak badan internasional yang menjanjikan dana untuk membangun kembali Gaza. Dia menambahkan bahwa tantangan besar untuk badan internasional ini ialah apakah mereka akan mulai membangun kembali Gaza di tengah-tengah penutupan Israel atas Jalur Gaza yang melumpuhkan segalanya.
Mshasha menerangkan, “Dialog internal Palestina sedang berlangsung dan setelah kerusakan perang dan keinginan komunitas internasional pada malam pendonor Sharm al-Syekh bertemu, akankah pemerintah Israel menuruti semua ini dan mengizinkan masuknya bahan bangunan juga komoditas dan barang-barang dasar lainnya?”
Baru-baru ini, wakil beberapa negara Eropa, termasuk Javier Solana, kepala kebijakan dan hubungan internasional Uni Eropa, mengunjungi Gaza untuk pertama kalinya sejak partai islami Hamas muncul dalam pemilihan parlementer 2006. Selama kunjungannya, Solana memberitahukan harapannya bahwa Hamas dan Fatah akan setuju mengenai persatuan pemerintah nasional yang akan bersama-sama memikul tugas rekonstruksi di Jalur Gaza.
Uni Eropa, AS dan Israel sudah memboikot Hamas, meminta partai mengenali Israel dan mennerima kesepakatan dengan Israel yang ditandatangani oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Pada Juni 2007, Israel mengepung paksa Gaza setelah Hamas merebut kontrol wilayah tersebut di tengah-tengah ‘perkelahian’ dengan kelompok Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Fatah. Masa jabatan Abbas secara sah berakhir pada 9 Januari, dan dia masih berkuasa di bawah undang-undang keadaan darurat yang kontroversial. Wakil Fatah dan Hamas saat ini sedang bertemu di Kairo untuk mencari penyelesaian pembagian wilayah dia btara dan menciptakan persatuan nasional seraya menantikan pemilihan baru.
Namun di Jabaliya, Ahmad menerangkan bahwa “Saya semula adalah pengungsi dari Jaffa, keluarga saya ditempatkan di sana pada 1948. Saya heran akan selama apa kami hidup sebagai pengungsi. Saya memohon ke semua bangsa Arab dan negari-negeri kaum muslimin lainnya untuk menolong kami menyingkirkan pendudukan Israel di negeri kami.” (Althaf/arrahmah)