JAKARTA (Arrahmah.com) – Ada pasal Guantanamo di draf revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Adapun pasal Guantanamo atau Pasal 43 huruf b itu menyebutkan bahwa perluasan kewenangan penyelidikan kasus terorisme meliputi penempatan orang tertentu di tempat tertentu selama enam bulan.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS) tegas menolak pasal Guantanamo tersebut.
Kontras pun meminta Komisi III DPR menolak pasal Guantanamo tersebut dalam draf revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Komisi III wajib menolak revisi Undang-undang Terorisme yang ada pasal soal pasal Guantanamo, Pasal 43 itu yang berpotensi nanti seperti saudara pimpinan bisa terulang lagi ke depan,” ujar Koordinator Kontras Haris Azhar di ruang rapat Komisi III DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2016), lansir Sindonews.
Hal senada dikatakan oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Busyro Muqoddas. “Selain pasal Guantanamo sendiri, atas alasan kemanusiaan Amerika sendiri sudah mau membuat keputusan politik dengan alasan kemanusiaan, kenapa itu diimpor ke Indonesia?” kata Busyro.
Kemudian, menurut dia, yang menilai seseorang sebagai teroris tidak boleh hanya Detasemen khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Dikatakannya, perlu tim independen secara transparan yang menilai seseorang sebagai teroris.
Hal itu juga dianggapnya poin penting dimasukkan dalam draf revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu.
“Densus itu bukan penyidik. Siapa yang menguji mengawasi? Selama ini enggak ada kan? Makanya korbannya sampai 121 yang tewas,” ungkap mantan wakil ketua KPK ini.
Di samping itu, personel Densus 88 yang melanggar HAM harus diproses ke pengadilan, tidak cukup hanya ranah komite etik. Maka itu, dia menyarankan agar revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ditunda.
”Tunda, paradigmanya harus diuji secara sahih oleh unsur masyarakat sipil, kampus, NGO, Kontras. Kalau paradigmanya tidak jelas, akan lebih parah dari ini, sudah ada indikasinya pasal penahanan tadi,” tegas Busyro Muqoddas.
Dia berpendapat, pembahasan revisi undang-undang itu perlu melibatkan elemen masyarakat melalui kajian
(azm/arrahmah.com)