JAKARTA (Arrahmah.com) – Pasal Guantanamo yang selama ini menjadi kontroversi kemungkinan akan dihapus. Pasal Guantanamo adalah pasal 43A dalam draf revisi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme.(PT) yang mengatur kewenangan penyidik maupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok terorisme selama enam bulan. Yaitu terhadap terduga “teroris”, penyidik bisa langsung mengasingkan di tempat tertentu selama enam bulan dan itu belum termasuk penangkapan dan belum ditahanan.
Diketahui Guantanamo merupakan penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba yang menjadi tempat penyekapan dan penyiksaan ratusan orang yang dituduh terkait jaringan terorisme.
Anggota Pansus RUU Pemberantasan Terorisme Bobby Adhityo Rizaldi menjelaskan, pembahasan RUU sudah mencapai 72 dari 112 daftar inventarisasi masalah (DIM).
“Hampir semua fraksi sepakat bahwa revisi Undang-Undang ini, termasuk mensinergikan dan mengefektifkan rentang koordinasi penanggulan terorisme secara komprehensif, yang belum ada pada Undang-Undang ini disahkan tahun 2003,” katanya di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Menurut politisi Golkar itu, fraksi-fraksi juga bersepakat bahwa setiap aspek pencegahan terorisme harus memerhatikan aspek hak asasi manusia. Makanya, kepolisian, TNI, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta berbagai institusi lain agar bisa bekerja secara efektif menangkal terorisme tanpa harus mengenyampingkan HAM.
“Penguatan upaya cegah dini aksi terorisme diformulasikan agar tidak melanggar HAM, tapi tetap memiliki daya tangkal yang mumpuni. Pasal yang sering disebut Guantanamo sebaiknya dihapus karena tidak relevan dalam kerangka hukum pidana,” ujar Bobby.
Dia mengakui, aturan penyekapan itu telah diberlakukan beberapa negara tetangga, Malaysia dan Singapura diantaranya. Namun, penyekapan itu bukan dalam kaitan pemberantasan terorisme melainkan keamanan nasional.
“Dalam referensi di dunia, kerangka hukum pidana di manapun tidak ada pengasingan, lokalisir sebelum ada tindakan. Kerangka criminal justice system yang dipilih dalam revisi undang-undang ini. Kalau seperti Malaysia atau Singapura itu bisa karena kerangkanya adalah pendekatan internal security (keamanan nasional),” jelas Bobby.
Indonesia, belum bisa menerapkan hal itu karena belum memiliki Undang-Undang Keamanan Nasional.
“Kita belum punya Undang-Undang Kamnas atau national security seperti Malaysia,” demikian Bobby, dikutip Rmol.
(azm/arrahmah.com)