TUNIS (Arrahmah.com) – Partai ‘Islam’ berkuasa di Tunisia menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menjadikan hukum Islam sebagai asas konstitusi baru dan akan tetap menjaga sifat sekuler negara Afrika utara tersebut. Pernyataan ini bertentangan tajam dengan sebagian besar warga Tunisia yang baru-baru ini kembali menyerukan penerapan Syariah Islam melalui tegaknya Daulah.Ennahda, yang muncul sebagai partai terbesar setelah pemilu pertama Tunisia tahun lalu, mengatakan pada Senin (27/3/2012) bahwa pihaknya akan konsisten mempertahankan pasal pertama dari konstitusi 1956 sebagai dasar hukum bagi konstitusi baru yang saat ini sedang disusun.
“Kami tidak akan menggunakan hukum untuk memaksakan satu agama,” kata Rached Ghannouchi, pemimpin Ennahda, dalam konferensi pers.
Artikel pertama dari konstitusi sebelumnya menetapkan bahwa “Tunisia adalah negara bebas, merdeka, dan berdaulat, agama Tunisia adalah Islam, dan bahasanya adalah bahasa Arab dan bentuk negaranya adalah republik.”
“Keputusan Ennahda bertujuan untuk memperkuat konsensus nasional dan mempromosikan keberhasilan transisi demokrasi negara itu dengan menyatukan mayoritas kekuatan politik untuk menghadapi tantangan yang dihadapi negara,” tambahnya Zied Doulatli, tokoh terkemuka lain dalam partai sekuler yang terus mengklaim sebagai partai Islam.
Keputusan itu membuat marah kalangan pro-Syariah di Tunisia, yang telah mendorong syariah untuk diterapkan dalam konstitusi dan menggelar sejumlah demonstrasi untuk menekankan tuntutan umat.
“Ini adalah pengkhianatan terhadap semua orang yang memilih partai ini dan pengkhianatan prinsip-prinsip gerakan Islam,” kata Hechmi Haamdi dari gerakan Al-Arydha pada AFP.
Ennahda memenangkan 90 dari 217 kursi di majelis konstituante setelah pemilihan pertama pasca penggulingan diktator Zine el Abidine Ben Ali pada Januari. (althaf/arrahmah.com)