XINJIANG (Arrahmah.com) – Cina berusaha untuk memperketat pengekangan mereka atas kebebasan pers dan berbicara sehingga menambah kesulitan warga Uighur di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR), di mana pihak berwenang tidak akan melakukan apa-apa saat mendapatkan laporan tentang hampir dua juta orang yang telah menghilang ke kamp-kamp interniran, ungkap aktivis Uighur dan advokat pers.
Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati pada Ahad (3/5/2020) membuat dunia internasional meningkatkan pengawasan global baru terhadap Cina yang disebut sipir jurnalis dan blogger terkemuka, penyensoran media yang ketat, dan metode pengawasan cybernya yang luas. Meski hal ini berlaku di seluruh Cina, namun pembatasan ini akan lebih parah di wilayah etnis seperti XUAR dan Tibet.
“Media negara dan swasta milik Cina sekarang berada di bawah kendali ketat Partai Komunis sementara wartawan asing yang berusaha untuk bekerja di Cina menghadapi semakin banyak kendala di lapangan,” kata Reporters Without Borders (RSF) yang berbasis di Paris.
“Lebih dari 100 jurnalis dan blogger saat ini ditahan dalam kondisi yang mengancam kehidupan mereka,” tambah RSF.
Berdasarkan data tahunan yang dikeluarkan bulan lalu, Cina menempati urutan ke 177 dari 180 negara berdasarkan kebebasan pers, di bawahnya terdapat negara Eritrea, Turkmenistan, dan Korea Utara.
Ini bukan angka abstrak untuk Muslim Uighur, kata Organsasi Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP), sebuah kelompok advokasi yang berbasis di Washington.
“Melaporkan kondisi di lapangan, Xinjiang, atau yang disebut juga sebagai Turkistan Timur, telah lama menjadi garis merah bagi pemerintah Cina,” kata UHRP dalam sebuah pernyataan untuk Hari Kebebasan Pers Sedunia.
“Namun, kondisinya menjadi lebih menantang,” kata kelompok itu, mencatat pengusiran baru-baru ini oleh Cina dari sekelompok laporan dari wartawan dari New York Times, Wall Street Journal dan Washington Post.
“Ketiga surat kabar ini telah menerbitkan kisah-kisah inovatif yang menyoroti fakta kritis tentang penumpasan di Turkistan Timur, termasuk laporan tentang kerja paksa, negara polisi berteknologi tinggi, dan efek dari kamp-kamp interniran di wilayah itu,” kata UHRP, menggunakan nama Uighur untuk XUAR.
Sejak April 2017, pihak berwenang di XUAR diyakini telah menahan 1,8 juta Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya yang dituduh menyembunyikan “pandangan agama yang kuat” dan “secara politis salah” di sekitar 1.300 kamp interniran di seluruh wilayah.
Ketika laporan tentang sistem kamp mulai terendus oleh masyarakat global, Cina mulai menggambarkan fasilitas tersebut sebagai “sekolah asrama” yang menyediakan pelatihan kejuruan bagi Muslim Uighur, mencegah radikalisasi, dan membantu memerangi terorisme.
Tetapi pelaporan oleh RFA dan outlet media lainnya, berdasarkan kesaksian dari para mantan tahanan di kamp dan kebocoran dokumen resmi, menunjukkan bahwa mereka yang berada di kamp-kamp tersebut ditahan atas kehendak pemerintah dan menjadi sasaran indoktrinasi politik, perlakuan kasar, makanan yang buruk dan kondisi tidak higienis di fasilitas yang sangat padat tersebut.
“Pemerintah Cina telah membuat wartawan semakin sulit untuk melaporkan fakta dari wilayah ini selama bertahun-tahun dan sekarang, hal itu bahkan hampir mustahil,” kata manajer proyek UHRP Nicole Morgret.
“Perilaku otoritas pusat dan regional Partai Komunis Cina adalah bukti yang cukup bahwa mereka menyembunyikan sesuatu,” kata Direktur Eksekutif UHRP Omer Kanat dalam sebuah pernyataan tentang kebebasan pers.
“Ketika pemerintah Cina meningkatkan upaya disinformasi dalam menanggapi pelaporan pelanggaran hak asasi manusia mereka di Turkestan Timur, masyarakat internasional harus bertanya pada diri mereka sendiri,‘ Apa yang mereka coba sembunyikan? ’,” imbuhnya.
Sebuah laporan 2019 oleh Foreign Correspondents Club of China (FCCC), berdasarkan jajak pendapat pengalaman para anggota tahun pada sebelumnya menemukan bahwa jurnalis yang melakukan perjalanan ke XUAR dikuntit, secara dibatasi pergerakannya dan dipaksa untuk menghapus catatan dan foto-foto yang telah mereka ambil.
“Ada risiko bahwa bahkan media asing akan menghindar dari cerita yang dianggap terlalu merepotkan, atau mahal, untuk diceritakan di Cina,” kata Presiden FCCC Hanna Sahlberg dalam laporan itu.
Begitu banyak jurnalis yang mendekam di penjara di Cina, mereka ditahan karena dianggap menyebarkan berita bohong dan tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki pemerintah Tiongkok.
“Begitu banyak jurnalis yang di penjara di Tiongkok, sebagian besar dari mereka adalah Muslim Uighur, dan jumlah itu terus bertambah setelah pemerintah memperketat kebebasan berpendapat baru-baru ini,” kata Morgret dari UHRP kepada RFA. (rafa/arrahmah.com)