JAKARTA (Arrahmah.com) – Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As`ad Said Ali mengatakan, partai-partai Islam harus menemukan format untuk menyatukan diri jika tidak ingin kehilangan eksistensi di kancah perpolitikan Indonesia.
“Jangan sampai tidak ada Partai Islam di bumi Indonesia. Berpikir yang terjelek sebelum semua benar-benar terjadi menimpa partai Islam,” kata As`ad saat berbicara dalam seminar bertajuk “Quo Vadis Partai Islam: Gagasan Penyederhanaan Partai dan Prospek Partai Islam Dalam Pemilu 2014” di Jakarta, Sabtu (20/11/2010).
Seminar tersebut digelar Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Nasional Ulama (DPP PKNU) sebagai rangkaian kegiatan peringatan hari lahir ke-4 partai berbasis Islam tradisional itu.
Menurut As`ad, lontaran gagasan konfederasi menarik untuk disambut oleh partai-partai Islam.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Irak Dahlan Abdul Hamid mengamini pendapat As`ad.
Menurut dia, harus dicari solusi yang tepat agar partai Islam bisa bertahan, bukan hanya untuk Pemilu 2014, namun lebih jauh ke depan.
Untuk itu, kata Dahlan, masing-masing Partai Islam harus menghilangkan ego untuk mencari kursi kekuasaan dalam jangka pendek.
“Kalau tidak begitu sama saja bohong. Partai Islam akan hancur seperti partai Islam di Palestina,” katanya.
Ketua Umum DPP PKNU Choirul Anam menyatakan, pihaknya memang ingin memanfaatkan momentum harlah ke-4 PKNU untuk mencari isu bersama yang akan diperjuangkan partai Islam.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) MS Kaban menyoroti tarik ulur tentang ambang batas keterwakilan di parlemen (parliamentary threshold – PT) yang saat ini terjadi di antara partai-partai di DPR.
“Sebenarnya persolan kita bukan PT, tapi bagaimana penyelenggaraan pemilu bisa dilaksanakan dengan jujur dan adil seperti pemilu di tahun 1955. Selain itu, bagaimana agar tidak ada lagi suara rakyat yang hilang,” katanya.
Ia pun mempertanyakan alasan sebenarnya dari upaya penyederhanaan partai, apakah untuk efisiensi atau sekedar untuk “pembunuhan” terhadap partai-partai kecil.
Diakui Kaban, PT 2,5 persen saja cukup sulit bagi banyak partai untuk memenuhinya, apalagi jika PT dinaikkan menjadi lima persen.
“Soal PT ini, saya ada suudzon (prasangka negatif) politik, jangan-jangan ini permainan asing. Padahal, Islam itu bukan untuk dimusuhi, tapi untuk dikawani,” katanya. (ant/arrahmah.com)