JAKARTA (Arrahmah.com) – PKS Jawa Barat mencalonkan Diah Nurwitasari sebagai Wali Kota Cimahi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Cimahi 2012 ini. Diah Nurwitasari merupakan Anggota Komisi C DPRD Jawa Barat dari Fraksi PKS.
“Bu Diah muncul sebagai salah satu kader kami yang akan maju dalam Pilkada Cimahi,” kata Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Jabar Tate Qomarudin, Senin (2/1) kemarin seperti dilansir okezone.
Diah Nurwitasari, lanjutnya, muncul sebagai salah satu kader yang akan dicalonkan sebagai Wali Kota Cimahi setelah melalui mekanisme yang panjang di DPC PKS Kota Cimahi dan DPW PKS Jawa Barat.
“Bu Diah muncul dari aspirasi kader dan masyarakat,” ujar Tate.
Selain Diah Nurwitasari, PKS juga memiliki nama lainnya yang akan dicalonkan sebagai Wali Kota Cimahi pada Pilkada Kota Cimahi 2012. Mereka adalah Wakil Ketua DPRD Kota Cimahi Ahmad Zulkarnain dan Ketua DPC PKS Kota Cimahi Santoso Anto.
Wacana pencalonan wanita menjabat pimpinan publik memang bukan yang terbaru dalam jagad politik di Indonesia, akan tetapi sebagai partai berbasis massa Islam dan bertrademark partai dakwah, wacana tersebut seharusnya dikubur dalam-dalam.
Islam telah menjelaskan bahwa jabatan-jabatan yang bersifat mengendalikan kekuasan rakyat, diharamkan dipegang oleh seorang wanita.
Imam Al Qalqasyandi dalam kitab Maatsirul Inafah ila Ma’aamil Khilafah juz I/31 mengatakan bahwa syarat sahnya aqad khilafah menurut fuqoha Madzab Syaafi’iy, yang pertama adalah lelaki. Tidak terjadi aqad manakala diberikan kepada seorang wanita. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Shahabat Abu Bakrah ra yang mengatakn bahwa tatkala mendengar kabar mengenai penyerahan kekuasaan negara Persia kepada seorang Putri Kisra yang bernama Buran sebagai ratu setelah ayahnya meninggal, maka Rasulullah saw bersabda :
“‘Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan/kekuasaan) mereka kepada seorang wanita”.
Kata “Wallau amrahum” dalam hadist ini berarti mengangkat orang sebagai waliyul amri atau memegang tampuk pemerintahan.
Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita atau khabar, pemberitaan tersebut datang dalam bentuk tuntutan (thalab). Pemberitaan tersebut di dalamnya disertai celaan terhadap orang-orang yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada wanita yakni peniadaan keberuntungan mereka, maka hal ini menjadi ‘qorinah’ (indikasi) bahwa tuntutan itu bersifat tegas dan pasti. Dengan demikian hukumnya adalah haram bagi seorang wanita memangku jabatan pemerintahan.
Adapun selain urusan pemerintahan, maka hukumnya boleh bagi wanita untuk menduduki posisi-posisi itu misalnya menjadi pegawai negeri, kepala bagian, direktur sebuah biro administrasi, keuangan dan lain-lain. Kenapa demikian ? Sebab pembicaraan dalam hadist itu adalah mengenai putri Kisra yang menjadi Ratu Persia. Dengan demikian jabatan-jabatan yang bukan penguasa pemerintahan tidak termasuk dalam perkara yang dimaksud dalam larangan penyerahan jabatan kepada seorang wanita. Oleh karena itu dalam sistem Islam jabatan kepala negara dan kepala wilayah atau daerah seperti khalifah, Mu’awin, Tafwidl, wali dan amil tidak diperbolehkan dipegang oleh wanita.
Adapun jabatan Qodli (hakim), kecuali Qodli Madzalim yang mengadili para pejabat diperbolehkan dijabat oleh seorang wanita. Sebab Qodli (hakim) dalam sistem pemerintahan Islam tidak termasuk jabatan kekuasan. Qodli adalah jabatan mengadili perkara perselisihan diantara anggota masyarakat atau pelanggaran ketertiban umum atau hak-hak jama’ah dimana fungsi qodli sebagai pemutus perkara adalah penyampai keputusan Allah pada tiap-tiap perkara. Dengan demikian jabatan memberitahukan hukum Allah SWT itu bisa dijabat oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang memahami hukum Allah. Khalifah Umar bin Khatab pernah mengangkat Assyfa binti Abdullah bin Abdi Syam (seorang wanita dari Quroish yang wafat pada tahun 20 H) menjadi qodli hisbah yakni yang memutuskan perkara-perkara pelanggaran hak umum di sebuah pasar yang bertugas untuk menjatuhkan vonis hukum kepada semua orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum syara’.
Wallahu’alam bishshowab.
(Bilal/arrahmah)