KAIRO (Arrahmah.com) – Parlemen Mesir yang didominasi oleh kubu Ikhwanul Muslimin berkumpul kembali pada hari Selasa (10/7/2012) setelah dipanggil oleh Presiden Mohamed Mursi dalam tantangan terbuka untuk para jenderal.
Majelis dibubarkan oleh tentara sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan beberapa hari sebelum Mursi dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan presiden beberapa waktu lalu.
Mursi mulai menjabat pada 30 Juni lalu sebagai pemimpin sipil pertama setelah enam dekade militer berkuasa di Mesir. Ia pun kemudian pada hari Minggu menyerukan dikembalikannya parlemen dalam sebuah dekrit.
Sesaat sebelum Ketua Parlemen Saad Al Katatni membuka sesi sidang, Amerika Serikat mendesak semua pihak untuk terlibat dalam pembicaraan demi mengamankan transisi politik di Mesir, sekutu dekat AS dalam tiga dekade di bawah pemerintahan terguling Hosni Mubarak.
“Saya mengundang Anda untuk mengadakan sesuai dengan SK yang dikeluarkan oleh presiden,” kata Katatni.
“Saya ingin menegaskan bahwa keputusan presiden ini tidak melanggar perintah pengadilan.”
Sengketa ini merupakan bagian dari perebutan kekuasaan yang lebih luas yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Ikhwanul Muslimin yang saat ini menjadi kelompok yang berkuasa di Mesir terus ditekan oleh para pejabat era Mubarak dan militernya. Para jenderal yang menggantikan Mubarak berusaha terus menjaga hak-hak istimewa dan status mereka.
Kelompok liberal – yang kalah dari sisi jumlah oleh kalangan ‘Islamis’ di parlemen – juga khawatir. Banyak dari mereka yang memboikot sidang pada Selasa (10/7), dan mengatakan bahwa keputusan Mursi menentang pengadilan. Salah seorang pejabat dari kalangan liberal mengatakan bahwa peserta yang hadir adalah sekitar 70 persen dari rumah 508 kursi parlemen, kurang lebih sama dengan mayoritas Ikhwan.
Partai Bebaskan Mesir yang liberal menyebut langkah Mursi itu sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip pemisahan kekuasaan” dan serangan terhadap peradilan.
Untuk saat ini, Mursi memang memperoleh mandatnya sebagai presiden. Namun ia masih terancam karena ia harus menghadapi sejumlah tekanan dari kalangan liberal dan militer yang berusaha mempertahankan Mesir agar tidak di-Islamisasi, istilah yang sering diungkapkan Barat untuk menggambarkan upaya mengeksploitasi perpecahan politik yang mendalam di negara berpenduduk 82 juta jiwa tersebut.
“Saya memiliki kesan bahwa presiden terpilih merasa telah di atas angin,” kata analis politik, Hassan Nafaa.
“Ini adalah permainan berbahaya. Dan saya harap akan ada beberapa solusi politik untuk krisis tersebut, salah satunya dengan negosiasi langsung antara presiden dan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata,” kata Nafaa, seorang profesor ilmu politik penentang aktif Mubarak dan juga penentang protes yang mendukung yang menggulingkan dia.
Sementara muncul isu mengenai pertentangan antara Ikhwanul Muslimin dengan SCAF, namun Mursi dan Marsekal Hussein Tantawi masih muncul bersama dalam kondisi yang santai di beberapa acara publik sebelum dan setelah dekrit presiden. (althaf/arrahmah.com)